REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pangeran Harry menggambarkan mengalami serangan panik saat masih kecil setelah kematian Putri Diana. Dia selalu merasa tidak nyaman dan mengeluarkan keringat dalam setiap kesempatan.
"Dalam kasus saya, jas dan dasi, setiap saat saya berada di ruangan mana pun dengan banyak orang, yang seringkali saya lakukan hanya berkeringat, seperti denyut jantung mengeluarkan ledakan, ledakan, ledakan, ledakan dan benar-benar seperti sebuah mesin cuci," ujar pria berusia 32 dikutip dari People, Kamis (22/6).
Dalam kondisi panik tersebut, tentu saja Pangeran Harry merasa tidak nyaman dengan keadaannya. Dia ingin keluar dari kondisi tersebut, namun, justru malah tertahan dan menyembunyikan serangan panik itu dari orang-orang di sekitarnya.
Adik Pangeran Williams ini pun mengaku awal tahun ini telah mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mentalnya saat berusia sekitar 28 tahun. Melalui proses tersebut dan momen bertugas di Afghanistan sebagai pemicu yang akhirnya memaksanya untuk mengatasi kematian ibunya dan kesedihannya yang belum selesai.
"Jika Anda kehilangan ibu pada usia 12 tahun, Anda harus menghadapinya. Gagasan 20 tahun kemudian saya masih belum benar-benar pulih, 15, 17 tahun kemudian saya masih belum menghadapinya. Afghanistan adalah saat di mana saya merasa 'Benar, hadapi itu,'" kata Pangeran Harry.
Dia menambahkan dengan bertemu orang lain yang menderita trauma yang sama dengannya membantu mengatasi proses trauma tersebut. Mungkin awalnya akan menjadi bahan olok-olok sesama, namun, itu lama-kelamaan akan menjadi lebih santai untuk dihadapi.
"Anda membantu diri Anda sendiri, jadi Anda bisa membantu orang lain. Dan saya pikir itu sangat kuat," ujar Pangeran Harry.