REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan di era serba digital, industri pariwisata harus mengikuti perkembangan tersebut. Termasuk soal pengelolaan homestay, yang diharapkan Arief kelak bisa menjadi yang terbaik di dunia.
Arief mengatakan selama ini ia tertarik dengan Hukum Disrupsi (Law of Disruption) yang dikemukakan oleh Profesor Rhenald Kasali. Rhenald menyebut ada empat butir Hukum Disrupsi yaitu disruption attacts not any company, it attacts good company, disruption attacts incumbent with strong reputation, it demands new machinerather than the old one dan it creates new market and low-end markets.
Maksudnya menurut Arief, hanya tinggal menunggu waktu semua perusahaan, semua institusi, bahkan semua negara pasti akan terkena serangan disrupsi dengan adanya arus besar digitalisasi. Celakanya, kata Arief merujuk pernyataan Rhenald Kasali, yang menjadi sasaran empuk disrupsi digital adalah perusahaan atau organisasi konvensional yang mapan dan telah memiliki reputasi mengagumkan selama berpuluh tahun sebelumnya.
Contohnya, pengelola transportasi konvensional tergilas oleh pengelola transportasi daring seperti Uber, Grab dan Gojek. Lalu, pengelola reservasi hotel secara konvensional tergerus oleh pengelola reservasi daring seperti AirBnB. Kios penyewaan film yang tutup karena kehadiran Netflix dan lainnya.
Namun itu juga berarti selalu pada awal sebuah inovasi. Ini yang dinilai sebagai suatu kekacauan, dipandang sebelah mata, dan tidak banyak yang percaya. Terutama oleh para pebisnis konvensional. Tapi pada akhirnya akan menjadi sesuatu keadaan normal yang baru atau istilahnya The New Normal.
Menurut Hukum Disrupsi Rhenald, Arief menerangkan, untuk sukses di era disrupsi setiap organisasi konvensional harus menggunakan “mesin” baru berupa model bisnis baru, model operasi baru, dan value proposition baru yang luar biasa. Mesin baru itu tentu harus berbasis digital, tidak bisa tidak.
"Karena alasan itulah sejak tahun lalu saya sudah mengharuskan digitalisasi pengelolaan homestay," ujarnya melalui siaran pers Kementerian Pariwisata, Rabu (17/5).
Homestay-homestay yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air menurut Arief harus dikelola dengan “mesin” baru, yaitu menggunakan model bisnis baru berbasis digital. Model baru ini disebut digital sharing economy, yaitu melalui digital platform seperti Indonesia Travel Exchange (ITX). Dengan platform ini seluruh homestay yang umumnya pemain UKM, disatukan di dalam satu platform terintegrasi yang super efisien dan bernilai tinggi.
Platform ini akan membantu masyarakat lokal pemilik homestay untuk mengelola homestay mereka dengan kualitas layanan setara dengan hotel kelas dunia. Wisatawan dapat melakukan pencarian, pemesanan, dan pembayaran secara daring melalui platform ini. Sehingga Usaha Kecil Menengah dan koperasi pemilik homestay dapat dikelola sebagaimana layaknya sebuah perusahaan besar modern. "Ingat, 'the more digital, the more professional'," katanya.
Pengelolaan homestay dengan platform digital sharing economy menurut Arief menjadi satu-satunya pilihan. Sebab jika tidak melakukannya, maka industri pariwisata Indonesia akan terdisrupsi oleh pengelola homestay yang menggunakan platform digital. Dengan kata lain, kalau tidak melakukannya, maka orang lain yang akan melakukannya.
Arief yakin platform digital sharing economy akan meningkatkan jumlah pasar dan nilai pasar industri pariwisata Indonesia karena tiga alasan. Pertama dari sisi permintaan, dengan platform ini maka permintaan wisatawan akan homestay menjadi tidak linear lagi. Pasarnya tidak hanya berasal dari satu sumber namun dari multisumber dari seluruh dunia sehingga pertumbuhannya menjadi eksponensial.
Kedua dari sisi pengadaan, dengan platform ini pemilik homestay yang bisa bergabung dan menjadi sangat besar serta tumbuh dengan pesat. Pemilik homestay yang kurang dimanfaatkan bisa menyewakan kepada para pelancong dengan harga yang lebih terjangkau.
Pada akhirnya ini akan mengundang wisatawan dalam jumlah lebih besar. Ketiga, dari sisi proses, seluruh aspek pengelolaan homestay akan lebih mudah, lebih cepat, dan semua data aktivitas tercatat dengan baik sehingga dapat dilacak.
Seluruh data wisatawan dan homestay yang luar biasa besar ini menurut Arief akan menghasilkan data perilaku wisatawan, pengeluaran, kesukaan, tujuan wisata, lama tinggal, dan lain-lain yang kalau dianalisa dan dikelola secara digital akan menjadikan platform ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Digitalisasi homestay tak hanya sebatas menyediakan platform digital semata. Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi dasar yang harus dipenuhi.
"Saya mengidentifikasi ada tiga strategic prerequisite yang harus kita penuhi segera. Pertama, pendakatan “dari koperasi ke korporasi", kedua pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan homestay dan ketiga pentingnya merek sebagai aset paling berharga yang harus kita perjuangkan agar market value homestay kita bernilai tinggi tak kalah dengan Google atau AirBnB," ujarnya.
Dari Koperasi ke Korporasi menurut Arief, pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pola pengelolaan homestay dari koperasi ke korporasi. Sebagai gambaran misalnya pengelolaan homestay diibaratkan sebagai perusahaan-perusahaan kecil berbentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) atau koperasi. Kalau masing-masing homestay ini dikelola secara individual oleh UKM atau koperasi tentu kualitas pengelolaan dan kualitas layanannya akan medioker.
Namun menurutnya jika ratusan ribu homestay yang nantinya dibangun dikelola secara bersama-sama di dalam platform digital sharing economy dengan pendekatan korporasi, maka kita akan bisa mewujudkan homestay dengan kualitas dan pelayanan kelas dunia.
"Untuk gampangnya, bayangkan kita punya hotel dengan 100 ribu kamar. Bagaimana mengelola hotel dengan 100 ribu kamar yang terdistribusi di seluruh Indonesia? Itu tak bisa dibayangkan jika kita menggunakan cara-cara manual. Tapi kalau dilakukan secara digital, maka hal itu menjadi mungkin. Itulah mimpi besar saya yang harus kita wujudkan bersama. Ingat, sebuah mahakarya selalu dimulai dari mimpi besar," katanya.
Arief mengibaratkan seperti mengelola sebuah hotel besar dengan 100 ribu kamar dan pengelolaannya dilakukan dengan cara-cara korporasi. Sementara sistem yang dipakai untuk mengelola kamar-kamar tersebut adalah representasi dari platform digital sharing economy.
Menurutnya, apa yang terjadi jika para UKM atau koperasi pemilik homestay itu tidak dihimpun di dalam platform digital sharing economy? Bisa dipastikan mereka akan mati dengan sendirinya karena mereka tak bakal mampu bersaing dengan pengelola homestay yang sudah menggunakan digital platform.
Jadi dengan platform digital masing-masing homestay tidak perlu memiliki sistem dan cara kerja sendiri-sendiri. Semua disatukan dan distandarisasi yang terdiri dari aplikasi Customer Information System (CIS), Management Information System (MIS), dan Executive Information System (EIS).
ITX saat ini hanya masih di level CIS. Untuk dapat bersaing dengan platform digital global seperti AirBnB, ITX harus melengkapi diri dengan MIS untuk mengelola sistem informasi manajemen keuangan (SIMKeu), SIMLog, SIMOps dan SIMSdm.
Arief mengatakan lebih lanjut mereka akan mengembangkan EIS sebagai alat pengambil keputusan. Sistem-sistem ini menurutnya disediakan oleh ITX untuk memayungi ratusan ribu pengelola homestay yang berbentuk UKM atau koperasi agar mereka kompetitif secara global.
"Di sinilah letak keindahan dari konsep ini di mana negara hadir untuk mengayomi UKM atau Koperasi agar bisa makin sejahtera. Nah, kalau di tahun 2019 kita bisa menyatukan 100 ribu homestay di seluruh pelosok Tanah Air ke dalam satu atap digital, maka secara otomatis kita akan memiliki hotel homestay terbesar di dunia karena skalanya sangat besar dan distribusinya sangat luas," ujarnya.
Tak hanya itu, karena ratusan ribu homestay tersebut dikelola dengan pendekatan korporasi yang profesional dan berkelas dunia, maka kita juga akan memiliki hotel homestay terbaik di dunia. Untuk pengelola ITX, bisa meniru Tiongkok yang mampu menjadi pemain yang disegani di dunia dengan memanfaatkan kekuatan pasarnya yang sangat besar. Dengan memanfaatkan kekuatan pasar domestik Tiongkok, Ali Baba bisa menyaingi Amazon.
Begitu juga Baidu yang bisa menyaingi raksasa global seperti Google. Melalui digitalisasi homestay, ITX bisa memanfaatkan ratusan ribu homestay yang kita miliki untuk menyaingi raksasa global seperti AirBnB.
"Singkatnya, saya bermimpi Indonesia akan menjadi pengelola homestay terbesar dan terbaik di dunia. Dan mimpi itu harus kita wujudkan bersama. Pisahkan kepemilikan dan pengelolaan yang kedua adalah prinsip membedakan kepemilikan dan pengelolaan homestay," kata Arief.
Selama ini asumsi yang umum terjadi adalah, pemilik homestay dengan sendirinya menjadi pengelola homestay. Asumsi ini yang harus diperbaiki. Masyarakat lokal memang menjadi pemilik homestay, namun mereka tidak serta-merta menjadi pengelola.
Misalnya, menurut Arief, melalui Kementerian Desa (Kemendes), pemerintah membangunkan rumah-rumah bagi rakyat untuk dijadikan homestay agar rakyat sejahtera, namun mereka tidak serta-merta menjadi pengelolanya. Mereka boleh menjadi pengelola dengan satu syarat mereka memiliki kompetensi yang mumpuni.
Arief berharap dengan begitu 10 persen dana desa (sekitar Rp 6 triliun) bisa dialokasikan untuk pembangunan bidang kepariwisataan, termasuk untuk program pengembangan homestay. Beberapa waktu lalu Arief telah menyampaikan gagasan ini kepada Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
"Dengan dana tersebut saya usulkan Kemendes dapat membangun rumah-rumah homestay untuk rakyat dan Kemenpar akan memainkan peran sebagai pengelolanya. Saya menginginkan nantinya homestay dikelola dengan sistem cluster oleh operator profesional yang membawahi sekitar 50 sampai 100 homestay. Pengelolaan juga bisa melibatkan BUMDes di bawah Kemendes atau Balai Ekonomi Desa (BalkonDes) yang digagas Kementerian BUMN," ujarnya.
Pengelolaan homestay dengan sistem cluster ini haruslah diintegrasikan ke dalam digital sharing economy sehingga pengelolaannya menjadi seragam dan memiliki standar kelas dunia. Dengan sistem yang solid semacam ini maka kita bisa mewujudkan homestay yang dimiliki oleh rakyat, namun memiliki daya saing global.
Setelah itu pembangunan brand equity yang kuat dibutuhkan. Arief percaya kekuatan sebuah merek. Esensi merek menurutnya adalah nilai atau manfaat yang diberikan kepada seluruh stakeholder dari platform ini, terutama wisatawan dan pengelola homestay sebagai stakeholder utama.
Ketika platform ini mampu memberikan extraordinary value (kemudahan, kecepatan, harga terjangkau, atau peluang bisnis) baik kepada traveller maupun pengelola homestay, maka serta-merta mereka akan berduyun-duyun datang meramaikan platform tersebut.
"Ketika traveller dan pengelola homestay berduyun-duyun datang dan transaksi yang terjadi di dalamnya semakin besar, maka itu pertanda brand-nya mulai terdongkrak naik. Artinya platform tersebut mulai dipercaya baik oleh wisatawan maupun pengelola homestay di seluruh pelosok Tanah Air," kata Arief.
Banyak pengelola platform menurut Arief, membangun merek dengan cara mendatangkan konsumen melalui promosi besar-besaran. Di platform daring agen perjalanan misalnya, saat ini Traveloka dan Tiket.com berpromosi besar-besaran melalui media daring maupun media arus utama untuk menaikkan nama mereknya.
Arief mengajak semua stakeholder pariwisata diseluruh Tanah Air untuk mempromosikan secara besar-besaran dan menggaungkan platform digital sharing economy yang sudah dibangun. "Mari kita dukung Indonesia Incorporated untuk mendigitalisasi homestay kita. Itulah yang dilakukan seluruh rakyat Tiongkok untuk menyukseskan Baidu dan Ali Baba. Salam Pesona Indonesia," ujarnya.