Rabu 18 Jan 2017 16:14 WIB

Membangun Wisata tanpa Riba

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Andi Nur Aminah
Ida Wahyuni, perempuan perintis Desa Wisata Halal Setanggor Nusa Tenggara Barat
Foto: M Nursyamsi/Republika
Ida Wahyuni, perempuan perintis Desa Wisata Halal Setanggor Nusa Tenggara Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Cibiran dan tentangan dari warga sekitar tak menghalangi usaha perempuan ini menjadikan Setanggor sebagai Desa Wisata Halal di Lombok. Berjarak hanya lima kilometer dari Bandara Internasional Lombok, Desa Setanggor di Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi strategis untuk menyambut turis yang datang dengan segudang ragam wisata yang disajikan.

Ida Wahyuni namanya. Perempuan kelahiran Mataram, NTB, 29 tahun silam merupakan penggagas Desa Wisata Halal Setanggor. Berbalut pakaian serba hitam dengan kain tenun khas Lombok yang dililitkan, Ida siap menyambut dan menerangkan secara gamblang tentang apa yang ada di desa ini.

Berawal dari kunjungannya ke Desa Wisata Mas-Mas di Lombok Tengah, ia berpikiran mengapa tak mencoba untuk membuat hal serupa di tempat lain. Setelah sempat kesana-kemari mencari desa yang tepat untuk dijadikan desa wisata, pilihannya jatuh pada desa asal ayahnya yang berada di Setanggor.

Ia mengaku takjub dengan potensi kampung ayahanda. Maklum saja, usai menamatkan pendidikan tingkat akhir di Mataram, Ida lebih banyak berkutat menghabiskan waktunya di Pulau Jawa. Ida menamatkan kuliah di Kota Malang lalu berwirausaha di Jakarta.

Sejak memulai, ia memancang branding wisata halal untuk desa ini. Alasannya, lantaran citra yang kurang baik kerap dilontarkan untuk warga Setanggor akibat sejumlah aktifitas negatif. "Dulu daerah ini dikenal dengan sebutan Texas, karena banyak yang jual tuak, sekarang sudah pada tutup," kisahnya.

Tak kurang 15 warung tuak berserakan di desa ini. Juga, tak mudah mengubah kebiasaan ini, namun lewat diplomasi ia berhasil meyakinkan warga agar tak lagi menjual tuak dan beralih pada kemajuan pariwisata desanya. Dia memaparkan potensi pendapatan yang lebih besar jika beralih bersamanya mendukung desa wisata halal. "Kalau halal kan apa yang kita telan juga enak, lebih berkah," ungkap Ida.

 

 

Desa Setanggor memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.065 jiwa, di mana hampir seluruhnya beragama Islam. Miris rasanya, jika aktivitas yang ada justru tak sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Terlebih, ia katakan, Lombok juga dikenal sebagai Pulau Seribu Masjid.

Dalam merintis desa wisata ini, Ida menolak segala bentuk macam riba. Ia lebih memilih membangun secara perlahan ketimbang mengambil pinjaman dengan konsep riba. Kocek sebesar Rp 20 juta untuk pembangunan fasilitas ia keluarkan dari kas pribadinya. Misinya sederhana, membangun kesadaran masyarakat sekitar akan potensi desanya.

"Saya ingin bantu kembangkan desa ini, dan ini kan bisa seumur hidup bagi mereka. Insya Allah ini juga berada di jalan Allah SWT bantu sesama," lanjutnya.

Berada di ketinggian 111 meter di atas permukaan laut (mdpl), panorama di Setanggor memberikan pengalaman yang sayang untuk dilewatkan. Menyaksikan matahari terbit dan tenggelam di tengah hamparan sawah nan hijau tentu jadi hal yang tak mudah untuk dilupakan.

Konsep desa wisata halal Setanggor tergolong unik dan lengkap jika dibandingkan desa wisata yang sudah ada. Tercatat, 14 dusun yang ada di desa ini menawarkan masing-masing konsep wisata yang dikemas dalam sejumlah paket wisata. Mulai dari wisata budaya, wisata pendidikan, wisata agrobisnis, wisata kuliner, wisata sosial, dan wisata religi.

Jika memilih paket One Day Trip dan Stay One Night misalnya, wisatawan akan mengenakan pakaian khas Lombok dan disambut sajian musik gendang beleq. Kemudian dikalungkan salempang tenun khas Setanggor.

Selanjutnya, wisatawan akan diajak mengunjungi wisata ritual, wisata sentra tenun, pembuatan bio urine, membaca Alquran dan makan siang di tengah sawah dengan kuliner tradisional khas Lombok Tengah. Selain itu juga bisa memetik buah naga langsung dari pohonnya, dan wisata perkebunan dengan menikmati singkong bakar yang mencabut sendiri ditemani secangkir kopi.

Uniknya, wisatawan akan menjelajahi desa seluas 676 hektar dengan menggunakan cidomo (delman). "Kami memberikan harga Rp 300 ribu rupiah untuk mengelilingi semua tempat wisata. Harga sudah termasuk makan tiga kali sehari, biaya cidomo dan menginap satu hari dirumah warga," ucap Ida.

Asiknya lagi, wisatawan akan makan malam di atas sungai dengan rakit bambu dengan alunan seruling khas Lombok. Selain paket ini, ada juga paket wisata singkat dengan durasi dua jam dan empat jam dengan tarif sebesar Rp 100 ribu hingga Rp 125 ribu.  

Di Setanggor juga ada sebuah gong kuno yang sudah berusia ratusan tahun. Lokasinya berada di sanggar tari dan gamelan. "Tak sembarang orang bisa memasuki ruangan tempat gong berada, kata Ida.

Selain itu, tradisi membaca naskah kuno dari daun lontar agar anak-anak Setanggor memahami akar budaya mereka berasal juga digalakkan di desa ini. Pun dengan sentra tenun khas Setanggor yang rupanya sudah melanglangbuana hingga ke mancanegara.

Bagaimana tidak, 90 persen perempuan di desa ini diberkati kemampuan menenun. Jika sebelumnya, para penenun bergerak sendiri-sendiri dalam memproduksi dan memasarkan tenunnya, adanya sentra tenun memudahkan mereka baik dari segi permodalan maupun penjualan.

"Setiap rumah memiliki alat tenun tradisional, dan proses menenun kain ini menjadi atraksi yang menarik, karena wisatawan dapat belajar tentang bagaimana cara menenun," terangnya.

Para turis asing juga diberikan kesempatan untuk mengajarkan ilmu Bahasa Inggrisnya kepada anak-anak. Yang tak kalah menarik ialah wisata religi, di mana pengunjung bisa mengaji ayat-ayat suci Alquran di tengah hamparan sawah yang begitu hijau di Dusun Setanggor Barat I, Setanggor. "Wisata mengaji di tengah sawah memberikan pengalaman baru bagi setiap wisatawan yang datang," Ida menjelaskan.

Hal ini juga selaras dengan program "Magrib Mengaji" Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi. Hingga saat ini, sudah ada 30 wisatawan yang merasakan sensasi mengaji di tengah sawah yang dilakukan usai salat Ashar dengan didampingi ustaz. "Rencananya nanti ada ngaji di tengah sawah pada Magrib dengan membawa obor," paparnya.

Wisatawan juga bisa menyaksikan betapa semangatnya anak-anak kecil di Setanggor mengaji di tengah sawah.

Anggota Tim Percepatan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas, Kementerian Pariwisata, Taufan Rahmadi, yang sudah berkunjung ke Setanggor mengaku terpukau dengan potensi atraksi wisata Setanggor. "Mbak Ida berusaha menyakinkan saya untuk datang melihat potensi yang ada di desa ini," ungkapnya.

Mantan Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB ini diajak berkeliling menyusuri jalan setapak pinggir kali sambil melihat aktivitas para petani yang tengah menanam sawahnya, memetik buah naga, menyaksikan bagaimana warga Setanggor mengolah limbah sapi menjadi kompos dan bio urine. "Proses pengolahan limbah sapi ini ternyata memiliki daya tarik sendiri bagi para wisatawan untuk mengetahui prosesnya. Poin-poin atraksi ini saya pikir modal yang cukup untuk memajukan desa ini melalui program desa wisata," ucapnya.

Ia juga berdiskusi dan menjelaskan program homestay dan digital tourism (ITX) kepada warga setempat. "Quick win yang akan dilakukan adalah mereka segera mendata homestay, mengintensifkan koordinasi dengan pemkab Lombok Tengah dan mempersiapkan produk jasa layanan wisata untuk segera di daftarkan di ITX," lanjutnya.

Sekretaris Desa Setanggor, Genam, mengapresiasi langkah Ida dalam membangun lampunya menjadi desa wisata. Ia berharap, pengembangan desa wisata dapat menumbuhkan perekonomian warga yang mayoritas bekerja sebagai petani.

Selain itu, kemajuan desa wisata juga akan menekan minat anak muda untuk bekerja di luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Genam juga berharap pemerintah memberi perhatian pada Setanggor. "Infrastruktur yang masih dibutuhkan jalan, yang paling prioritas ada yang belum diaspal," keluhnya.

Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Setanggor, Sirojudin, mengungkap keunikan lain Setanggor yang belum banyak diketahui orang. Hampir seluruh rumah di sini minimal memiliki dua pohon sawo. "Bisa dibilang ini Desa Sawo," ucapnya.

Koordinator sentra tenun khas Setanggor, Yani, mengatakan tenun khas Setanggor memiliki ragam motif menarik. Mulai dari motif keket, subanale, nanas, cungklik, keker dan kembang komak. "Salah satu kain tenun di sini ada yang unik, karena saat cuaca dingin dia menghangatkan, sedang saat panas dia terasa adem," kata Yani.

Menenun merupakan kebiasaan perempuan di sini. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, yakni mencapai 500 orang. Dengan adanya sentra tenun, ia mengatakan akan mempermudah para penenun yang kerap kebingungan dalam mengakses permodalan dan juga promosi penjualan. "Di Sukarara itu tenunnya banyak yang dari sini, dan diekspor ke luar negeri juga," ucapnya.

Harga tenun khas Setanggor cukup bervariatif. Untuk selendang dihargai Rp 25 ribu, sedangkan kain tenun ukuran lebih besar dibandrol mulai harga Rp 200 ribu hingga jutaan rupiah.

Salah satu wisatawan, Satria mengaku terkesan dengan desa wisata ini. Pria asal Mataram, mengaku tak menyangka desa ini bisa bertransformasi seperti ini. "Dulu sering ke sini karena ada kerabat, sekarang pas ke sini lagi agak kaget, sudah jadi desa wisata rupanya," kata dia. Ia berharap, promosi desa wisata Setanggor lebih ditingkatkan supaya lebih banyak dikunjungi wisatawan.

Menanggapi respons positif berbagai khalayak, Ida tak menyangkal jika apa yang tengah dirintisnya ini masih jauh dari kata memuaskan. Kekurangan masih tampak baik dari segi fasilitas hingga atraksi wisata. Namun demikian, hal itu tak menyurutkan langkahnya mengajak masyarakat Setanggor untuk proaktif lagi dalam memajukan desa wisata ini. Harapan besar juga digantungkan pada pemerintah untuk membantu desa wisata agar lebih baik ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement