REPUBLIKA.CO.ID, Bisnis perawatan kecantikan dan tubuh tercatat mengalami kenaikan yang signifikan pada dua tahun terakhir. Kondisi ekonomi yang relatif kondusif di Indonesia merangsang penyerapan jumlah tenaga kerja yang berimbas pada peningkatan jumlah kelas menengah. Ditambah dengan meningkatnya paparan informasi mengenai tren kecantikan dan perawatan tubuh melalui internet dan media lainnya, membuat konsumen semakin berminat mengkonsumsi produk-produk perawatan dalam upaya memperbaiki penampilan, termasuk juga produk-produk pendukungnya.
“Indonesia merupakan pasar yang prospektif di mana permintaan akan produk-produk dan layanan estetika sedang meningkat. Banyak wanita-wanita Indonesia pergi ke salon-salon kecantikan untuk mengatasi permasalahan kulit mereka. Konsumen dari kalangan atas cenderung pergi ke Korea dan Singapura untuk mendapatkan jasa layanan kecantikan yang sebenarnya bisa mereka dapatkan di Indonesia,” jelas Vice President Asia Pacific Sales Cynosure, Inc, Bruce Byers, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (19/10).
Salah satu yang menjadi fenomena di Indonesia, dia mengatakan adalah tren pemutihan kulit. Byers mengatakan bahwa industri pemutihan kulit di Asia bernilai jutaan dolar. Banyak wanita Asia yang ingin memiliki kulit putih.
Menurut dia, di Indonesia, kulit putih dianggap sebagai simbol status sosial, kekuasaan, kekayaan, dan terutama sekali kecantikan. “Kulit gelap dianggap inferior dan entah mengapa selalu dipandang kotor, jelek, atau bahkan tidak sehat. Sementara itu, sebagian besar produk-produk pemutih kulit mengandung merkuri atau hydroquinone, dua bahan kimia yang sangat merusak,” ujarnya.
Merkuri, bahan kimia umum pada krim pemutih, mengikis kulit dari pigmen alaminya. Merkuri juga merupakan racun yang dikenal dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal yang bisa membawa kepada kelainan saraf. Dalam upaya memiliki kulit yang putih, Byers merekomendasikan wanita untuk mencoba perawatan lain selain pemutih kulit.