REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Hadir di tengah ribuan penonton di salah satu festival jazz terbesar di dunia tentu mengundang rasa tersendiri. Ada gelembung bahagia yang berbinar. Di kereta api, sejak dari Amsterdam – festival diadakan di Rotterdam – benak ini dipenuhi banyak tanda tanya. Macam apa festival ini? Tapi yang utama adalah apa yang membedakannya dengan festival jazz terbesar di Indonesia – Java Jazz. Kebetulan helatan ini dipromotori Peter F Gontha, dan nonton North Sea Jazz di kota kedua terbesar di Belanda ini pun bersama Peter F Gontha juga.
Hari itu memang hari libur, Sabtu. Sehingga Peter sedang bebas dari tugasnya sebagai duta besar di Polandia. Penggemar jazz kelas berat ini ingin wartawan Indonesia merasakan dan menyaksikan sendiri aura festival jazz bergengsi ini.
Peter yang mengawali perjalanan hidupnya dari bawah – menjadi pelayan di sebuah perusahaan penerbangan internasional – memperlihatkan ligatnya karakter dirinya. Datang tanpa tiket, ia meminta rombongan wartawan untuk berdiri di sudut halaman gedung festival. Halaman beraspal itu sangat luas, seluas lapangan sepakbola. Lalu ia bergegas menyeruak kerumunan orang. Sesaat ia berdiri sebentar mengamati gerak-gerik orang. Sebagai orang yang pernah tinggal di Belanda selama enam tahun, Peter bisa cas-cis-cus berbahasa Belanda. Ia berbicara dengan seseorang, dari tampangnya tampak seperti orang Maroko. Di Belanda banyak imigran Maroko – berbeda dengan di Prancis yang lebih banyak imigran Aljazair atau di Jerman yang lebih banyak imigran Turki.
Lalu Peter berlalu lagi. Makin masuk ke kerumunan hingga tenggelam di keramaian. Seseorang mendekat ke kami. Ia menanyakan seseorang, dalam Bahasa Inggris yang fasih, sepertinya yang ia maksud adalah Peter. Kami menjawab bahwa dia belum kembali. Orang itu berlalu lagi. Tak lama Peter datang dengan membawa tiket. Rupanya ia mencari tiket dari para calo tiket.