Sabtu 26 Mar 2016 13:09 WIB
Sejarah

Cerita Di Balik Coretan

The graffiti says
Foto: Antara/Marifka Wahyu Hidayat
The graffiti says

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Akbar Wijaya/ wartawan www.republika.co.id 

Sempat dianggap simbol resistensi dan vandalisme, graffiti akhirnya dirangkul menjadi teman industri dan sarana sosialisasi.

"Coretan di dinding membuat resah. Resah hati pencoret mungkin ingin tampil. Tapi lebih resah pembaca coretannya. Sebab coretan dinding adalah pemberontakan, kucing hitam yang terpojok di tempat sampah." (Iwan Fals, “Coretan Dinding”, album Belum Ada Judul, 1992)

Jangan anggap remeh coretan dinding. Begitu peringatan yang hendak disampaikan Iwan Fals melalui lagunya yang berjudul Coretan Dinding. Seperti kata Iwan, mencorat-coret dinding bukan sekadar upaya mengeksistensikan diri. Mencorat-coret dinding juga merefleksikan sikap resistensi (perlawanan diam-diam) dari perasaan termarjinalkan, ketidakpuasan, dan kegelisahan terhadap penguasa.

Mencorat-coret dinding popular disebut dengan istilah graffiti (Inggris) berasal dari bahasa latin “graffien” yang berarti menulis. Dalam sejarah peradaban manusia graffiti bukan hal baru. Manusia sudah melakukannya sejak 30.000 tahun SM. Kala itu manusia memanfaatkan tulang hewan, kapur, dan batu bara untuk membuat coretan dinding di permukaan batu dan dinding gua. Tujuannya beraneka macam: mulai dari sarana komunikasi saat berburu, pemujaan pada dewa, hingga ritual tertentu.

Graffiti sebagai media resistensi merentang jauh ke belakang di berbagai belahan dunia. Di Eropa, graffiti bernada resistensi banyak terdapat di bekas reruntuhan dinding Kota Pompei. Kebanyakan graffiti saat itu menyindir pemerintah Roma dan tuan tanah yang dianggap menghisap kesejahteraan rakyat. 

Sejarah  revolusi Cina pimpinan Mao Zedong pada 1920 juga tak bisa dilepaskan dari graffiti. Oleh para pengikut Mao graffiti menjadi sarana efektif mendengungkan slogan-slogan revolusioner. Hal serupa terjadi di Perancis. Saat gerakan protes dan pemogokan buruh terjadi pada Mei 1968, graffiti bernada revolusioner menyebar ke seantero kota Paris. “L'est contre-révolutionnaire” (Kebosanan adalah kontrarevolusi), tulis para demonstran.

Di Tanah Air, graffiti menjadi instrumen penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia. Basuki Resodowo, pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dalam memoarnya Bercermin di Muka Kaca menceritakan, beberapa jam menjelang proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta, para pemuda mencorat-coret gerbong kereta api jurusan Jakarta-Surabaya dengan tulisan “Merdeka.” Para pemuda melakukan ini dengan tujuan menyampaikan pesan kemerdekaan kepada penduduk luar Jakarta bahwa Indonesia telah merdeka.

September 1945, graffiti menjadi media diplomasi merebut simpati dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia. Adalah Achmad Soebardjo, atas saran Tan Malaka, yang memerintahkan kaum muda menuliskan graffiti bernada propaganda: “Pemerintah dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat”, “Indonesia untuk Bangsa Indonesia”, dan “Hands off Indonesia!”.

“Mereka menggalakkan moral dan semangat juang, serta menyerukan perlawanan mati-matian terhadap musuh,” tulis Harry Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia, Volume 1.

“Kota lambat laun menjadi penuh tempelan pamflet-pamflet dan corat-coret semboyan yang menyatakan dukungannya terhadap Republik,” tambah Poeze.

Pada masa Orde Lama, tren graffiti beralih ke mural (seni gambar). Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia giat membuat mural di dinding-dinding kota. Lewat mural mereka menyampaikan pesan perlawanan terhadap neokolonialisme, neoimperiliasme, dan liberalisme. Pemerintah juga memilih mural untuk menghias gedung pemerintahan dengan semangat revolusioner.

Pada 1957 misalnya, pelukis Soedjojono dan kelompoknya yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM) ditugaskan pemerintah membuat mural di ruang Bandara Kemayoran, Jakarta. Pelukis lainnya, Srihadi Sudarsono, yang sempat masuk Lekra, pernah mengerjakan mural untuk kantin mahasiswa Universitas Indonesia dan gedung pejabat pelabuhan di Tanjung Priok. Sampai fase perebutan Irian Barat dan Ganyang Malaysia, mural dan graffiti yang sebelumnya dianggap seni rupa kelas dua (streetart), mulai punya pamor di masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement