Rabu 23 Dec 2015 16:01 WIB

Unicef: 79 Persen Remaja Indonesia 'Aktivis' Medsos

Gadget seperti dua sisi pisau di anak dan remaja, fungsinya bisa memberi efek positif termasuk negatif.
Foto: pixabay
Gadget seperti dua sisi pisau di anak dan remaja, fungsinya bisa memberi efek positif termasuk negatif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan UNICEF, Harvard University, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyimpulkan 79,5 persen dari 30 juta anak muda Indonesia menjadi pengguna aktif (aktivis) media sosial (medsos).

"Secara keseluruhan, ada 98 persen anak muda Indonesia yang menjadi pengguna medsos, meski tidak semuanya 'aktivis'," ujar Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah, Rabu (23/12).

Ia mengatakan, ada anak muda yang menggunakan medsos hanya sebatas memindahkan diskusi di warung kopi menjadi diskusi di medsos. "Nah, ini yang perlu kita edukasi," katanya. Menurut dia, medsos kini hanya terbatas pada ruang diskusi dan curhatan, hal ini tidak boleh terjadi karena sebenarnya medsos memberikan kesempatan dan potensi yang luar biasa.

"Meski pengguna medsos di Indonesia sangat tinggi, sosial media sering tidak digunakan secara produktif. Lebih disayangkan lagi, medsos juga sering dijadikan sarana menebar hoax atau kebohongan dan kebencian. Akibatnya, banyak pengguna medsos yang ditangkap polisi karena dianggap melanggar UU ITE," katanya.

Medsos adalah tantangan baru bagi media massa yang menjadi arus utama (mainstream). Ia juga mengungkapkan media sosial memiliki potensi yang begitu besar. Hal ini memang tidak dapat dimungkiri, mengingat banyaknya artis baru yang populer melalui medsos.

Sementara itu, praktisi media sekaligus Pemimpin Redaksi Warta Ekonomi M Ihsan menilai kehadiran medsos telah mengganggu tatanan jurnalistik karena kehadiran internet telah mengubah cara orang berpikir dan bertindak.

"Pada satu sisi, medos memang menyaingi media arus utama, namun tak jarang dijumpai informasi yang disajikan berlebihan dan banyak yang tanpa konfirmasi," katanya.

Menurutnya, berdasarkan pengalaman informasi yang disajikan medsos terlalu cepat menyebar sebelum kebenarannya dibuktikan. "Tidak jarang hal itu dipakai untuk penyebaran teori konspirasi," ujarnya.

Ia melihat ini terjadi karena tuntutan modern atas pemberitaan yang harus menyajikan berita terbaru sehingga jurnalisme sering menjadi kesusasteraan yang terburu-buru. Namun, Ihsan melihat masih ada akun-akun di medsos yang punya otoritas tinggi dan diakui oleh publik keberadaannya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement