REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menolak wacana pembatasan film impor untuk membangkitkan industri film nasional.
"Pembatasan film impor tidak serta-merta meningkatkan produksi film nasional dan jumlah penonton. Tidak ada korelasi antara keduanya," katanya di Jakarta, Rabu (11/2), menanggapi usulan Kadin tersebut.
Menurut Djonny, selama kualitas film nasional masih belum membaik, sulit berharap bahwa penonton akan beramai-ramai menyaksikan film nasional. Contoh paling nyata, lanjut dia, terjadi pada 2011. Ketika itu, selama enam bulan film impor sama sekali tidak bisa masuk ke Indonesia.
Kondisi tersebut bukannya meningkatkan jumlah penonton, namun justru membuat anjlok. Jumlah penonton film saat itu hanya 14 juta, menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 16 juta penonton.
"Bahkan, bisa dikatakan bahwa tahun 2011 merupakan tahun yang suram bagi sinema Indonesia, meski ketika itu tidak ada film impor," kata Djonny.
Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa kunci utama untuk meningkatkan animo penonton film adalah kualitas. "Jika film-film Indonesia yang diproduksi berkualitas baik, meski dari sisi kuantitas tidak terlampau banyak, namun bisa meningkatkan jumlah penonton," lanjutnya.
Djonny pun menyebutkan bahwa industri perfilman Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada 2008. Pada tahun tersebut, tercatat, 30 juta penonton menyaksikan film Indonesia. Angka tersebut, setara dengan 58 persen dari total jumlah penonton film, baik film Indonesia maupun film asing.
Melesatnya animo penonton saat itu, tak lepas dari film berkualitas yang dihasilkan. Sebut saja Ayat-Ayat Cinta buah karya Chaerul Umam dan Laskar Pelangi karya Riri Riza. Tidak hanya itu. Dari sisi segmentasi penonton, Djonny menilai bahwa baik film impor maupun film nasional, memiliki segmentasi yang berbeda. Artinya, penonton film impor tidak langsung beralih menonton film Indonesia, ketika film impor dilarang.
Yang tak kalah mencemaskan, adalah dampak buruk pembatasan film impor itu sendiri. Jika benar diberlakukan, sudah dipastikan akan meningkatkan pembajakan film. Peredaran film ilegal akan semakin marak, karena penggemar film impor tentu tetap ingin menonton film-film asing tersebut.
Kondisi demikian, tentu saja menjadi pasar yang empuk bagi para pembajak. "Jika hal ini terjadi, bukan hanya pengusaha bioskop yang dirugikan, namun juga pemerintah. Pemerintah tidak akan mendapat pajak dari tontonan dan peredaran film impor di Indonesia," katanya.