Rabu 19 Nov 2014 18:46 WIB

Indonesia Duduki Posisi Kedua Buang Air Sembarangan

Peringatan hari toilet sedunia ditandai dengan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya tidak buang air besar sembarangan.
Foto: Antara
Peringatan hari toilet sedunia ditandai dengan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya tidak buang air besar sembarangan.

REPUBLIKA.CO.ID, Hasil riset gabungan antara UNICEF dan WHO menemukan sebanyak 55 juta orang di Indonesia melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Indonesia pun duduk di posisi kedua tertinggi dunia setelah India dalam urusan BABS.

Secara global, sebanyak 1,9 miliar orang telah memiliki akses terhadap sanitas baik sejak 1990. Namun, perkembangannya tidak sejalan dengan pertumbuhan populasi.

Sebanyak 82 persen dari satu miliar orang yang melakukan BABS ada di sepuluh negara, yakni India, Indonesia, Pakistan, Nigeria, Ethiopia, Sudan, Nigeria, Nepal, China, dan Mozambik. "Memang jika dibandingkan antara pedesaan dan perkotaan, kondisi di pedesaan lebih parah," kata Lilik Trimaya dari Program WASH UNICEF Indonesia, Rabu (19/11).

"Di pedesaan di sekitar NTT masih cukup parah, lalu di kota besar seperti di Jakarta," katanya. "Kita lihat saja di bantaran sungai Cilwung dan sekitar Jakarta Utara juga masih parah."

Terlebih lagi kata Lilik masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap BABS merupakan budaya Indonesia untuk melestarikan lingkungan. "Kami menemukan fakta cukup mencengangkan karena sebagian masyarakat Indonesia beranggapan BABS untuk melestarikan lingkungan," katanya lagi. "Sebagian masyarakat pun masih melihat sanitasi itu kurang penting."

"Itu juga diperparah dengan ketersediaan air di beberapa tempat di Nusantara yang sulit," katanya lagi.

Ia menambahkan. "Atau masyarakat di sekitar sungai dan pantai yang memiliki banyak air, yang berpikir 'langsung saja BAB di sungai nanti juga hilang'."

Akibat dari BABS ini, menurut WHO, yakni sebanyak 88 persen angka kematian anak akibat diare karena kesulitan mengakses air bersih dan keterbatasan sistem sanitasi. Selain itu, memperbesar risiko terganggunya pertumbuhan fisik anak sehingga tidak optimal pada usianya.

"Kampanye ini tidak bisa selesai dengan hanya membuat toilet. Karena butuh keinginan dan kesadaran dari masyarakat. Di beberapa tempat kami bangun toilet, belum tentu mereka mau memakainya. Maka dari itu, kami ingin memulai dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement