REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Subroto, Wartawan Republika
Kurniawan (40 tahun) asyik mengamati detail ukiran rumah tradisional Aceh. Bapak dua anak itu tak sedang berada di Aceh. Dia sedang mengunjungi anjungan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Rumah adat yang sedang diamati Kurniawan dan keluarganya itu konon milik pahlawan Aceh, Cut Mutia yang sengaja dipindahkan ke TMII. Rumah itu terdiri dari 16 tiang, dindingnya penuh ukiran indah. Setiap kali melangkah, Kurniawan dan istrinya mencoba memberikan penjelasan kepada putri mereka Aya dan Dina.
“Kalau ke Jakarta saya selalu ke Taman Mini. Belum ke Jakarta rasanya kalau belum mampir kesini,” kata Kurniawan, di TMII Jakarta, Ahad (29/4).
Warga Pekanbaru, Riau, itu mengaku sudah empat kali ke Jakarta. Sudah empat kali juga dia mengunjungi TMII. “Taman Mini ini bagus buat anak-anak untuk mengenalkan Indonesia. Dengan mengunjungi anjungan-anjungan dan pementasan kesenian daerah di TMII, anak-anak bisa sadar bahwa Indonesia itu sangat kaya dengan adat dan budayanya” jelas karyawan swasta itu.
Tak hanya ke anjungan Aceh, Kurniawan juga mengajak keluarganya ke anjungan Lampung, daerah dimana dia dan istrinya berasal. Dia ingin kedua anaknya lebih mengenal asal usul mereka melalui adat dan budayanya.
Pengunjung TMII lainnya, Nurlalita Utami (30) juga mengajak anak-anaknya ke TMII untuk berwisata sambil belajar banyak hal tentang budaya Indonesia. Selain mengunjungi sejumlah anjungan provinsi, Utami memilih mengajak anaknya yang masih duduk di bangku SD ke museum. Salah satunya ke museum transportasi dan museum iptek.
“Anak-anak bisa berwisata sambil belajar. Nggak cuma bersenang-senang tapi juga mendapat banyak pengetahuan,” tutur Utami.
Kawasan wisata seluas 150 hektare yang terletak di Jakarta Timur itu memang tepat untuk dijadikan ajang wisata pendidikan atau edukasi serta mengenalkan budaya Indonesia.
Manajer Informasi TMII Suryandoro, mengatakan TMII memang menjalankan misi sebagai wahana pelestarian dan pengembangan budaya, serta sarana mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. “Di TMII masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan dan informasi tentang berbagai aspek budaya, tradisi, adat istiadat, kesenian sampai pengenalan benda-benda budaya,” kata Suryandoro kepada Republika, Selasa (29/4).
Karena peran yang besar dalam pelestarian budaya itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengusulkan TMII sebagai warisan budaya dunia bukan benda ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Tahun ini Kemdikbud menominasikan TMII untuk kategori The Best Practices.
“TMII dinilai bisa menjadi percontohan dunia dalam mengemas identitas daerah,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan (Wamenbud), Wiendu Nuryanti, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, TMII bisa menjadi contoh bagi dunia tentang cara melestarikan sekaligus merepresentasikan kebudayaan dari suatu bangsa. TMII dinilai memberikan ruang bagi budaya daerah untuk tetap eksis. Tidak semua negara, kata Wiendu, memiliki fasilitas seperti TMII.
Wiendu menambahkan, UNESCO akan menggelar sidang pada awal Desember 2014 untuk menentukan apakah TMII diakui sebagai warisan budaya dunia kategori The Best Practices. “Saya berharap tahun ini TMII lolos di UNESCO dan bisa ditetapkan menjadi warisan budaya dunia,” harapnya.
Seong- Yong Park, pakar dunia tentang warisan budaya sekaligus Wakil Dirjen Intangible Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region (ICHCAP), mengatakan, TMII merupakan upaya pelestarian kebudayaan dari berbagai suku bangsa di Indonesia. “Melalui kegiatan budaya di TMII, masyarakat dunia bisa memahami keunikan dan keragaman budaya Indonesia,” kata Seong- Yong Park, dalam Pemaparan Konvensi 2003 UNESCO dan Makna Nominasi TMII sebagai Best Practises, beberapa waktu lalu.
Dimata Park, pendirian TMII adalah sebuah strategi untuk memperkenalkan Indonesia yang begitu luas dan budayanya sangat beragam. ”Mereka yang tidak bisa melihat Indonesia secara keseluruhan, bisa melihatnya di TMII,” kata Park.
TMII yang yang digagas Ibu Tien Soeharto dan diresmikan Presiden Soeharto pada 20 April 1975 itu menyajikan berbagai aspek kekayaan alam dan budaya Indonesia sampai pemanfaatan teknologi modern. Tempat rekrasi ini mempunyai anjungan 33 provinsi, 18 museum, 11 wahana rekreasi, dan tujuh rumah ibadah.
TMII juga dilengkapi dengan fasilitas rekreasi yang tidak kalah menarik dengan tempat rekreasi lainnya. Di kawasan ini ada Teater Imax Keong Emas, tempat menonton film-film dokumenter dalam dan luar negeri. Ada juga Istana Anak, Teater Tanah Airku, dan yang terbaru adalah Water Park, lengkap dengan salju buatan (Snowbay).
Suryandoro menjelaskan, jika usulan TMII sebagai warisan budaya dunia bukan benda diterima UNESCO, maka dampaknya akan sangat besar bagi Indonesia.
“Imej Indonesia akan positif di mata dunia. Dunia akan melihat bahwa Indonesia punya tempat pelestari budaya,” papar Suryandoro.
Di usia TMII yang memasuki 39 tahun ini, tambah Suryandoro, pihaknya terus berbenah. TMII berperan bukan hanya sebagai tempat wisata, tapi juga pembelajaran. Terutama edukasi tentang jati diri bangsa. Pengenalan terhadap budaya bangsa dikemas dengan teknologi modern agar bisa dinikmati generasi muda.
Perkembangan TMII pun kata Suryandoro, sangat mengembirakan. Kenaikan pengunjung rata-rata mencapai 10 persen setiap tahun. Tahun lalu jumlahnya mencapai lima juta orang. “Kita terus memperkuat visi dan misi TMII sebagai pelestari budaya Nusantara dan mempererat kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia,” tegas Suryandoro.