REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah
Pada sebuah konser tunggal Koes Plus yang dihelat di Balai Kartini, Jakarta, beberapa bulan silam, ada sebuah peristiwa menarik. Seusai menyanyikan lagu hitnya, "Tiba-Tiba Kumenangis dan Koes Plus bersiap untuk menyanyikan lagu berikutnya, "Mawar Bunga", sontak Yok Koeswoyo bertanya kepada sang drumer, Murry, apakah ia masih sanggup `menggebuk' alat musiknya.
"Mas Murry, masih kuat nggak? Kalau nggak, ya istirahat dulu," kata Yok kepada Murry.
Dia melihat Murry mulai kelelahan. Namun, Yok juga mengakui ia pun juga sudah ngos-ngosan. "Istirahat? Iyo lah, kalau nggak, sikil iki pedot (kaki ini putus--Red)," jawabnya dengan nada ringan. Murry ke mudian beringsut mengambil posisi di depan gendang.
Mendengar celotehan Murry, para penonton konser tertawa riuh. Apalagi, setelah personel Koes Plus lainnya, Yon Koeswoyo, ikut menimpali dan membalas celotehan rekan-rekannya itu.
"Kamu kira aku nyanyi ini tenggorokanku nggak pedot (tidak putus)?" tim-pal Yon.
Penonton kembali terbahak riuh mendengar celetukan ketiga personel Koes Plus yang semuanya sudah menjadi `opa-opa'. Saat itu, ketiganya sudah berumur lebih dari enam dasawarsa atau bahkan mendekati 70 tahun.
Ketika mengingat candaan itulah, menjadi sangat mengejutkan saat Sabtu (1/2) pagi, saya mendengar Murry atau lengkapnya Kasmuri telah mening galkan alam fana ini. Lelaki bercambang kelahiran Jember, 19 Juni 1949, itu mengembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 06.00 WIB setelah dirawat beberapa saat, yakni mulai pukul 04.00 WIB, di se- buah rumah sakit di Ci - bubur, Jakarta Timur.
"Beliau meninggal tanpa sakit," kata Agusta T-koes, ketua paguyuban penggemar Koes Plus, Jiwa Nusantara.
Dia pun mengaku kaget ketika diberi tahu tentang kepergian Murry. Sepengetahuannya, Murry baru pu- lang dari konser di Pekalongan. Bukan hanya itu, pada Sabtu (25/1) malam pekan lalu, ketika di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, para penggemar Koes Plus dan Koes Bersaudara mengadakan konser dan reuni bersama seluruh personel grup yang masih tersisa, Murry terlihat dalam keadaan sehat.
"Saya tak datang karena sakit. Tapi, kata teman-teman, Pak Murry dan para personel Koes Plus tak terlihat ada masalah. Mereka tetap saling bercanda dan ketawa-tawa," kata Agusta lagi.
Maka, setelah meninggalnya Murry, personel Koes Plus yang `tersisa' kini tinggal dua orang, yakni Yok Koes woyo dan Yon Koeswoyo. Sedangkan, dua personel Koes bersaudara, John Koeswoyo dan Nomo Koeswoyo, kini masih dalam keadaan sehat.
John kini kuyup mendalami ajaran Islam dan Nomo tetap sibuk menjadi pebisnis dan tinggal di Magelang. Sementara, `sang jenderal' Koes Plus, Tonny Koeswoyo, telah lama `berpulang', yakni pada pertengahan 1980-an.
Bagi komunitas penggebuk drum di Indonesia, Murry dianggap sebagai salah satu inspirator. Gayanya me mu kul drum banyak dijadikan rujukan para drumer generasi berikutnya layaknya mendiang drumer God Bless, Fuad Hasan.
Bagi komunitas itu, meski terdengar `gampangan', beat pukulan Murry ternyata sulit ditiru. Ia kadang memukul drum di luar kaidah baku. Bahkan, kerap kali Murry memperlakukan `beduk Inggris' alias drum itu layaknya sebuah kendang dalam sajian musik Jawa (karawitan).
"Murry memukul drum dengan sangat keren. Kemampuannya tak kalah dengan Ringo Starr atau pula Charlie Watts (drumer Rolling Stones)," kata Yon Koeswoyo dalam sebuah per bincangan.
Bahkan, kata dia, sering kali cara Murry memukul drum `seolah-olah salah', tapi ketika diperhatikan, ternyata itu malah menghasilkan ketukan dan bunyi yang lebih enak terdengar.
Menurut Yon, cara aneh itu terjadi dalam beberapa lagu Koes Plus dalam album mereka pada era 1974. Meski begitu, bagi Tonny Koeswoyo, ketidaklaziman Murry itu dibiarkan saja. Gaya unik Murry dalam bermain drum bisa disimak pada lagu "Kelelawar", "Pelangi", "Bunga di Tepi Jalan", atau "Bu jangan". Di situ, Murry memukul `senir' drum dan mengetuk simbalnya dengan ritmis dan indah.
Bahkan, dia tak sungkan menambahi elemen suara drumnya dengan bunyi `kelontongan sapi'. Sedangkan, gaya Murry yang memukul drum layak nya kendang bisa didengar, misalnya, dalam beberapa lagu Koes Plus pop Jawa, seperti "Pak Tani", "Nyai Enda Endo", dan lainnya.
Pada sisi lain, kehadiran Murry di grup ini juga menandai masa puncak pencapaian musikal Koes Plus sebagai produk industri hiburan. Bila dalam Koes Bersaudara lagu-lagu dari anak-anak Pak Koeswoyo terdengar mendayu-dayu dan melankolis, ketika Murry hadir, lagu Koes Plus berubah lebih berwarna serta rancak. Pilihan Tonny Koeswoyo untuk menggandeng Murry yang pada saat itu juga menjadi drumer grup band lain, seperti Patas dan Zaenal Combo, menjadi tepat adanya.
Diakui Yon, kakaknya, Tonny Koeswoyo memang jatuh hati pada kemampuan Murry dalam memainkan drum. Menurutnya, Tonny rela bolak-balik Jakarta- Surabaya khusus untuk menjemput dia yang saat itu tinggal di Surabaya dan bekerja di pabrik gula sembari main musik bersama almar hum Gombloh (Lemon Trees).
"Setelah kami ke luar penjara, yakni sehari menjelang meledaknya peristiwa G-30-S PKI hingga beberapa tahun beri - kutnya, Koes Plus sempat lama vakum karena tak ada undangan manggung.
Kondisi ekonomi kami sulit dan Murry mungkin merasa tak enak, akhirnya pulang ke Surabaya.""Namun, sebelum rekaman album Koes Plus yang pertama pada 1969, yang ada lagu "Kelelawar" itu, Mas Tonny menjem put Murry ke Surabaya. Nah, ketika pertama kali rekaman ber samanya, kami pun kaget karena keras sekali pukulan drumnya. Bayangkan, meski di dalam studio yang kedap suara, pukulan drum dia masih tetap terdengar sampai di luar meski pintu sudah ditutup rapat," kata Yon lagi.
Tak hanya menggebuk drum, Murry juga piawai menulis lagu dan me nyanyikannya. Bahkan, kerap kali Murry menulis lagu dalam waktu singkat. Misalnya, dalam masa rihat ketika mereka di dalam studio. Lagu "Bujangan", contohnya, dibuat da lam waktu cepat ketika Koes Plus tengah berada dalam proses akhir pem- buatan album volume ke-10 pada 1974.
Kisahnya, pada saat itu mereka masih kekurangan lagu dan nyaris pu tus asa mencari lagu baru untuk melengkapi album itu. Tiba-tiba, Murry minta izin ke luar sebentar dan kemudian masuk kembali sembari membawa melodi yang dia mainkan bersama gitar. Maka, pada saat itulah, lirik lagu langsung ditulisnya dan Tonny kemudian menyempurnakan serta merekamnya. Setelah diperdengarkan ke khayalak, lagu ini ternyata sangat populer.
"Mury memang hebat dalam menulis lagu. Dia juga bisa menyanyi. Banyak lagu Koes Plus yang hit itu beberapa merupakan karyanya. Nah, be berapa hari lalu, saya sempat bertemu dia. Dia senang sekali ketika saya mengatakan akan menulis biografinya," kata sahabat Tonny Koeswoyo serta penulis novel legendaris Ali Topan Anak Jalanan, Teguh Esha. Teguh menyayangkan, meski pengaruh musik Koes Plus sangat fenome-nal, pemerintah belum memberikan penghargaan yang layak kepada mereka.
Akhirnya, sebagai tanda kenangan kepada Murry, mari simak salah satu lagu ciptaannya yang berjudul "Ya Allah".
Lagu ini ditulis pada 1974 yang termuat dalam album Kasidah Koes Plus. Hingga sekarang lagu ini pun tetap akrab dinyanyikan anak-anak taman bacaan Alquran (TPA) di Yogyakarta.
Bila kupandang langit dan bumi Alam semesta ini, Semua ciptaan yang Esa Ya Allah Firman-Mu bagai sinar yang terang Menuju kebenaran Jauhkan kami dari siksaan Ya Allah Pengasih dan Penyayang K'pada semua insan Terpuji selalu namamu Allah ... Allah ... Allah ... (ed: syahruddin el-fikri).
Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika. Terimasih.