REPUBLIKA.CO.ID, Filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer, pernah berkata bahwasejarah yang diam alias kejadian yang dibiarkan mengendapdalam waktu tanpa pernah mendapatkan wacana selayaknya,akan potensial tercemari kebohongan. “Ibarat pelacur jalananyang berpeluang besar terinfeksi sipilis,” begitu kata dia.
Barangkali Sepriyossa Darmawan pernah membaca kuotasi Schopenhauer tersebut, sehingga ia tergerak untuk menulissebuah novel yang berlatar belakang perjuangan legalisasi pemakaian jilbab, yang marak pada awal 1990-an lalu. Atau mungkin pula karena di tengah semaraknya pemakaian jilbab alias hijab—hingga memunculkan komunitas tersendiri yang melek mode, hijaber’s community, tak jarang tersembul keprihatinan, betapa sisi mendasar yang paradigmatik dari pemakaian jilbab itu seolah terpinggirkan.
Atau mungkin pula terdorong oleh kesadaran bahwa sejarah memang selayaknya dituliskan. Sejak zaman ‘baheula’ orangYunani percaya,”verba Volant, scripta manent”, kata-kata itu menguap, sementara tulisan lebih abadi. Sebagaimana disinggung, peristiwa itu tak banyak menjadi wacana. Anak-anak muda saat ini bahkan boleh jadi tak pernah tahu bahwa pada suatu masa selembar kain bernama hijab atau jilbab itu pernah dilarang dan memakan korban. Tercatat, sekian banyak siswa SLTA saat itu harus dikeluarkan dari sekolah (negeri), gara-gara memegang komitmen untuk memakainya. Namun apapun yang mendasarinya, novel itu sudah mendatangi masyarakat pembaca kita. Siap untuk dinikmati, dan tentu saja, dikritik.
Novel ini memang berlatar belakang dunia aktivis mahasiswayang tak pernah kering diperas menjadi kisah menggetarkan. Namun menurut Prof Ahmad Erani Yustika— seorang aktivis mahasiswa era tersebut, dalam endorsement-nya mengatakan, yang menarik, justru karena novel ini tak berpretensi menjadikan tokoh mahasiswa sebagai pahlawan yang ’mengubah dunia’, tapi justru menunjukkan sisi manusiawinya: aktivis yang tersengat api asmara.
Novel tak berhenti di situ saja, sebab pembaca masih diajak masuk dalam dunia "alam kepercayaan" yang masih hidup hingga kini, bahwa manusia bisa berubah menjadi binatang (macan). ”Darmawan amat piawai meramu tiga lanskap itu: dunia aktivisme, gelegak roman anak muda, dan alam kepercayaan masyarakat dalam tautan kisah yang memikat,” tulis guru besar ilmu ekonomi Unibraw itu.
Sisi mistis itu pula yang digarisbawahi Arya Gunawan Usis, mantan wartawan BBC yang kini bertugas di UNESCO, Tehran, Iran. Bumbu mistisisme mengenai sosok harimau yang dianutsebagai kepercayaan di sejumlah masyarakat Indonesia, sepertidi Kerinci (Jambi), dan juga di Tatar Sunda, semacam inimenurut Arya terbilang jarang digali para pengarang Indonesia.“Sehingga novel ini jelas turut memperkaya pemahamanpembaca mengenai Indonesia yang unik dan kaya,” tulisnya.
Sementara penulis pemenang dua kali Khatulistiwa Literary Award, Linda Christanty, selain menunjuk sisi mistis, lebih menekankan sisi sejarah. Novel ini menurut Linda, ”Mengisahkan bagian yang belum tercatat di buku-buku sejarah kita, yaitugerakan mahasiswa 1980-an dan awal 1990an yg melawan depolitisasi kampus sertaotoritarianisme rezim Orde Baru.” Bagi Linda, itulah sisi penting novel ini.
Barangkali karena sisi mistis itu ditulis cukup meyakinkan, Teguh Yuswanto, redaktur pelaksana ‘Bintang Indonesia’ sedikit terasa berlebihan. Menurut Teguh, menulis novel ini tak bisa dilakukan oleh orang yang hanya pandai merangkai kata. ”Ia juga harus punya wawasan yang luas tentang spiritualisme, mantra-mantra,” tulisnya. Yang membuat novel ini menarik, menurut dia, karena novel ini tak melupakan kondisi aktual yang tengah digandrungi anak muda. ”Kalau ada yang menyebut ini Twilight Saga versi Indonesia, saya setuju,” tulisnya yakin.
Penilaian yang sederhana justru datang dari budayawan besar dan wartawan senior, Goenawan Mohamad. ”Saya membacanya dengan asyik,” tulis Goenawan.Pasalnya, novel ini pun bisa dianggap sebagai sebuah kisah silatyang seru dengan tokoh jahat yang tangguh, meskipun tokohutamanya, Ekalaya, bukan jagoan yang tanpa keraguan dankesedihan. “Dan Darmawan menceritakannya dengan tak pernahbertele-tele dan dengan bahasa yang terang, terlatih.”
Yang menarik, novel ini pun menegaskan kecintaan penulisakan puisi. Pada beberapa kesempatan penulis tak segan-seganmengambil beberapa puisi romantic yang sudah kita kenal. Beberapa kali, ia menuliskan petikan miliknya sendiri. ..Izinkan kutatah Kau dalam jantungku dengan mata pahatberlumas asam: pedih, nyeri(halaman 225).
Sisi romantis ini juga tak jarang muncul dalam beberapadeskripsi. Misalnya: Ekalaya terpesona dengan bola mata Ava.Bagai danau, mata itu tenang. Hitam dan dalam. Danau yangsejuknya seolah mengajaknya menceburkan diri, menyelamikedalamannya, merenangi keluasannya (hal 288).
Namun tentu saja, tak ada gading yang tak retak. Yang palingjelas, barangkali keputusan untuk mencetak novel ini padakertas glossy yang relative mahal. Dan tentu, itu berpengaruhterhadap harga jual satuan novel ini.
Tetapi yang terbaik tentu saja membaca dan menilai sendiri novel penulis yang sempat menovelkan satu sisi keberadaan grup band Slank dalam ’Rock N Roll Mom’ ini. Paling tidak, meyakinkan benar-tidaknya pernyataan Chandra Endroputro, seorang sutradara film dan animator, tentang novel.
”Penulis telah berhasil membuat sebuah novel yang mampu membuat hati saya berdebar kencang,” tulisnya.
Judul : ‘Lodaya: Cinta Pemuda Harimau’
Penulis: Sepriyossa Darmawan
Genre: Roman Sejarah-aksi
Penerbit: Bintang Pertiwi Publishing