Ahad 12 May 2013 22:10 WIB

Lebih Gelap, Star Trek Into Darkness Masih Setia pada 'Trek-isme'

Chris Pine sebagai James T Kirk dalam Star Trek Into Darkness
Foto: PARAMOUNT PICTURES
Chris Pine sebagai James T Kirk dalam Star Trek Into Darkness

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi fans yang senang hati menerima Star Trek versi JJ Abrams 2009 kemarin, boleh jadi gembira dengan kehadiran "Star Trek Into Darkness". Semua yang ditawarkan dalam film pertama hadir kembali dan lebih menggigit.

Dalam durasi 132 menit, "Into Darkness" menyodorkan paket aksi yang bergerak cepat, dengan 'semesta Trek' yang langsung muncul di adegan awal, Planet Nibiru.

"Inti Wrap" dalam film ini adalah misi pengejaran seorang buron, agen orang dalam Starfleet yang membelot ke Klingon, John Harrison (Benedict Cumberbatch). Ia berambisi menghancurkan seluruh federasi dan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.

James T Kirk (Chris Pine) dan seluruh kru Enterprise melakukan perburuan untuk membekuk Harrison dan mencegahnya agar tak memprovokasi perang dengan Kekaisaran Klingon.

Sekuel kali ini menyodorkan tema lebih gelap, meski bukan sama sekali tak ada harapan dan optimisme. Perlu dingat, walaupun bertema fiksi sains dan penuh penjelajahan luar angkasa, "Star Trek" bukan film superhero, melainkan kisah sekumpulan manusia dan makhluk planet dari galaksi sekitar yang mengandalkan kecerdasan dan teknologi.

Alhasil "Into Darkness" tidak mengandalkan kemewahan aksi gegap gempita, melainkan kerja keras untuk memastikan alur tidak ada yang bersifat kebetulan--bila sulit menyebut realistis.

Tentu saja ada plot berkelok dan berputar sepanjang jalan cerita. Ada beberapa kejutan, meski bisa dibilang kejutan besarnya tak terlalu mengejutkan.

Kejutan di luar plot justru pada karakter-karakter dalam waralaba ini. Chris Pine yang memerankan James T Kirk mampu memunculkan sosok kapten muda yang masih harus berkutat dengan perilaku kelewat pede. Kali ini ia membawa karakter Kirk dalam level emosi baru. Elemen ini muncul lebih kuat saat berinteraksi dengan Bruce Greenwood yang kembali dalam sosok Admiral Christopher Pike.

Karakter Spook (Zachary Pinto) juga mengalami eksplorasi lebih baik. Seperti yang diharapkan dari seorang Vulcan, Spook konsisten dengan bawaan tulen yang dingin, efektif dan kalkulatif, namun sebenarnya juga mengalami turbulensi emosi. Lagi-lagi, emosi itu belum lepas dari "Star Trek 2009", kepedihan melihat kehancuran planetnya dan kematian Ibunya. 

Sementara Benedict Cumberbatch, aktor Inggris ini bisa dibilang muncul dalam level berbeda dan memiliki kelasnya sendiri. Jebolan drama dari Manchester University mampu meyakinkan penonton bahwa ia satu-satunya musuh di semesta Trek yang mampu mengalahkan Kirk dan Spook.

Satu peningkatan besar dibandingkan film 2009 adalah karakter musuh utama. Dalam "Star Trek 2009", tidak ada yang luar biasa dari Eric Bana sebagai Nero. Kali ini Star Trek bisa dibuat masuk 'Into Darkness (Dalam Kegelapan)' oleh akting solid Cumberbatch.

Tak sia-sia Abrams memilih aktor yang tampil tajam dalam "Sherlock" yang idiosinkratik versi BBC. Ia memiliki kaliber yang sanggup menghadirkan intimidasi psikologi dan fisik.

Cumberbatch mendapatkan porsi besar di layar, dan karena kemunculannya begitu kuat, ia bisa membuat penonton menginginkannya muncul lebih banyak lagi. Bila Anda termasuk tipe yang  bisa jatuh cinta terhadap sosok antagonis, Cumberbatch berpotensi mengisi ruang itu.

Pendatang baru Alice Eve (Dr Carol Marcus) dan Peter Weller (Admiral Marcus) juga tidak mengecewakan. Peran-peran lain pun muncul dengan percaya diri. Karl Urban terlihat lebih mantap saat kembali menjadi doktor Bones McCoy. Begitu pula Scotty, yang memiliki petualangannya sendiri. John Co 'Hikaru Sulu' dan Anton Yelchin 'Pavel Chekov', tak ketinggalan mendapat porsi kepahlawanan.

Karakter yang mendapat perlakuan paling buruk, seperti biasa adalah USS Enterprise. Pesawat ini selalu menjadi bagian dari keluarga, tapi juga selalu dibuat babak-belur, namun bertahan hingga akhir. Sutradara kita sepertinya ingin membuat kapten sekaligus krunya berlompatan dan berguling-guling di pesawat alih-alih cuma duduk manis di kursi komando.

Satu menu yang tak pernah absen adalah adegan perang luar angkasa. Bagi fans yang gemar dengan aksi NCC-17101 , "Into Darkness" menyodorkan sedikit 'senang-senang' saat bertempur dengan pesawat baru Klingon.

Meski film ini penuh dengan sentuhan Trek-isme di sana-sini, seperti dijanjikan Abrams film ini bukanlah remake dari film sebelumnya. Kelebihan lain, film ini tak hanya mengakomodasi para fans lama tetapi juga membuat penonton pemula Star Trek tak kesulitan mengikuti jalan cerita.

Abrams juga masih menggunakan ramuan sebelumnya, menekan emosi dan dramatisasi. Soal efek sinematografi memang menjanjikan, tapi kematian dianggap sesuatu yang wajar tanpa elaborasi berlebihan. Emosi tak dibiarkan menggebu. Anda bisa meninggalkan gedung bioskop dengan perasaan lebih dingin.

Sutradara "Alias" itu tak ingin  Star Trek bersilang genre dengan Star Wars--yang memang lebih menggarap dramatisasi emosi. Hanya saja, plot Into Darknes yang cepat mau tak mau menekan sisi eksposisi perkembangan karakter.

Toh itu bukan hal yang akan mengurangi kenikmatan menonton secara signifikan, lagi pula "Into Darknes" bukanlah film kelas festival yang butuh perlakuan 'khusus'. Terbuka kemungkinan fans tak menyukai beberapa bagian, tapi secara keseluruhan film ini menghibur dan memanjakan mata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement