REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Setyanavidita Livikacansera
Setiap 30 Maret yang bertepatan dengan Hari Film Nasional, biasanya bincang-bincang soal eksistensi film buatan dalam negeri akan mencuat. Pembahasan bisa soal perkembangan film nasional, sudah sejauh mana kemajuannya, atau sebaliknya.
Sebagai sebuah industri kreatif, film nasional pada masa kini memang sudah tak mati suri seperti pada pertengahan hingga akhir 90-an. Dari dulu hingga kini, ada saja kita dengar film nasional mendapat penghargaan pada ajang internasional.
Berdasarkan data badan PBB UNESCO, pada 2011 jumlah produksi film Indonesia per tahunnya rata-rata sebanyak 102 film. Sedangkan, India sebanyak 1.288 film, Amerika Serikat 694, Cina 475, Australia 45, Jepang 448, Rusia 253, Inggris 126, Mesir 46, dan Brasil 84 film.
Jika dibandingkan dengan 2010, terdapat sedikit peningkatan jumlah film nasional yang diproduksi tercatat 100 buah judul film. Namun, jika dipandang dari sisi jumlah penonton, sayangnya belum banyak perubahan menggembirakan.
Dari 102 film yang ditayangkan di Indonesia tahun lalu, penontonnya diperkirakan 0,24 persen saja dari jumlah penduduk. Minimnya jumlah penonton itu terkait dengan jumlah bioskop di Indonesia.
“Saat ini tercatat 172 bioskop dengan 676 layar di seluruh Indonesia,” kata Ukus Kuswara, direktur jenderal Nilai Budaya dan Seni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ia mengaku, pemerintah masih berupaya menarik minat investor untuk membangun bioskop di daerah-daerah.
Menurut pengamat film Indonesia Isa Alamsyah, saat ini rekor penonton untuk satu film rata-rata hanya 700 ribu penonton. Beberapa film memang mampu mencatat angka fantastis. Misalnya, “Laskar Pelangi” mampu meraih lima juta penonton pada 2008 dan “Ayat-Ayat Cinta” sukses menggaet tiga juta penonton pada tahun yang sama.
Adalah film “Surat Kecil untuk Tuhan” dan “Arwah Goyang Kerawang” yang mampu meraih predikat film terlaris pada 2011. “Kondisi ini sudah pasti semakin mempersulit para sineas dan produser film Indonesia untuk meraih keuntungan dalam jumlah menggembirakan,” ujar Isa.
Para pelaku dunia per filman seharusnya mampu memutar otak dan menggali kreativitas demi membuat film berbujet rendah, tapi tetap menarik minat penonton. Menurutnya, banyak contoh film low budget di Hollywood yang meski modalnya pas-pasan, ternyata mampu menggebrak pasar box office internasional.
“Paranormal Activity” yang tayang pada 2007, misalnya, hanya bermodalkan 15 ribu dolar AS atau sekitar Rp 135 juta. Namun, film ini meraup untung hingga 10 ribu kali lipatnya dengan total keuntungan 150 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,3 triliun. Menurut Isa, kekuatan pada ide cerita dan tidak semata mengikuti ke mana tren penonton mengalir dapat membawa perubahan positif dalam perkembangan film di Tanah Air.
Film laris versi kualitas Pengajar kelas akting di Universitas Bina Nusantara, Adri Prasetyo, berpendapat masalah yang dihadapi film nasional saat ini sudah terlalu kompleks. Ia berkeyakinan, saat ini teknologi dan kemampuan para sutradara, pemain, dan orang-orang yang bergerak di belakang layar pembuatan film sudah jauh berkualitas dibandingkan era 80-an lalu.
Sayangnya, ungkap Adri, pengoptimalan kreativitas para sineas justru tersandera dilema ingin membuat film yang bagus atau laku? Kalau sudah begitu, masalah untung-rugi dan balik modal akan berhadapan dengan idealisme pembuat film.
***
Menurutnya, pola pikir yang memperkirakan sebagian besar masya rakat Indonesia enggan menonton film yang mikir dan lebih senang film yang santai, tidaklah sepenuhnya tepat. “Jangan terlalu menyepelekan ke mampuan intelektual para penonton film saat ini,” ujar Adri. Cara menyajikan film yang mengandung pesan kepada para penontonlah, yang disebut Adri, menjadi kunci sekaligus tantangan terbesar para pembuat film.
Meski mengakui kompleksnya permasalahan yang menghambat kemajuan perfilman Indonesia, Adri masih optimistis film Indonesia dapat bangkit. Tentunya, apabila mendapat dukungan dukungan dari semua lini yang terlibat. “Mulai dari pelaku, produser, sampai pemerintah. Dengan visi membuat film berkualitas, apresiasi masyarakat pasti akan datang dengan sendirinya,” lanjutnya.
Gede gengsi
Kurangnya apresiasi masyarakat pada film negeri sendiri juga diakui oleh aktor Iko Uwais. Iko, yang menjadi pemeran utama film “Merantau” dan “The Raid” ini mengaku, selama ini para penonton Indonesia kebanyakan terasa enggan memuji film yang berkualitas made in Indonesia. “Kalau film Hollywood atau luar negeri pada umumnya, penonton berlomba-lomba memuji. Tapi, kalau film Indonesia, mudah sekali mengkritik.
Kalau filmnya bagus, mereka gengsi untuk memuji,” ujar Iko. Itulah yang membuatnya senewen ketika film yang ia mainkan akan tayang di depan publik sendiri ketimbang penonton luar negeri. Penonton di luar, disebut Iko, lebih jujur dalam memberikan penilaian serta apresiasi mereka terhadap suatu karya.
Selama pembuatan, Iko sempat terpikirkan perkataan dari produser film “The Raid”, Ario Sagantoro, bahwa membuat film di Indonesia pada umumnya adalah judi. Setelah sukses mendapat penghargaan di berbagai festival, seperti Toronto Festival, Busan International Film Festival, dan Festival Film Sundance, “The Raid” akan mencoba peruntungannya dalam merebut hati penonton Indonesia.
Iko yang juga berprofesi sebagai guru silat berharap makin banyak film yang mengangkat budaya Indonesia.
Menurutnya, pasca-“Laskar Pelangi” dan “Merantau”, sedikit sekali film Indonesia yang mengangkat kebudayaan asli Indonesia sebagai kekuatan utama dalam alur cerita film.