Ahad 03 Jun 2012 06:00 WIB

Mencari Ayah di Perrinyawang

Cover Novel Lontara Rindu
Foto: masgege.blogspot.com
Cover Novel Lontara Rindu

Ketika pemenang terbaik lomba novel Republika diumumkan di Facebook dan dimenangkan oleh seorang S. Gegge Mappangewa, pikiran saya langsung berlorong waktu ke masa lalu, menikmati gurihnya cerpen-cerpen Gegge yang dimuat di majalah Annida (cetak). Karyanya kental dengan nilai lokalitas, juga menyentuh dunia pendidikan. Seketika itu, saya langsung meng-add si penulis dan selang beberapa hari langsung berburu bukunya di toko buku.

Novel Lontara Rindu ini bercerita tentang hubungan manusia di dalam keluarga dan lingkungan yang complicated, terutama karena ada latar belakang adat dan agama yang berbeda. Dikisahkan, dua saudara kembar Vito dan Vino terpisah sejak usia mereka masih sangat dini. Kedua orang tua mereka terpaksa berpisah karena beda agama. Kakek anak kembar tersebut menolak kehadiran ayah dan terpaksa harus pergi. Vito tinggal bersama ibunya, sedangkan Vino dibawa ayahnya.

Suatu masa, rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari ayahnya di Perrinyawang, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di daerah pegunungan. Inilah kisah pencarian, sekaligus kehangatan keluarga siswa SMP itu di masa belianya di Cenrana, Panca Lautang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, di masa kemarau mendera.

Satu di antara bagian dalam novel yang membuat pembaca tak henti membaca adalah, Vito yang lihai sekali mengarang cerita bohong. Suatu kali, ia tidak masuk sekolah dan mengatakan pada gurunya bahwa kakeknya telah meninggal. Nah, hari berikutnya ketika teman-teman dan guru Penjasnya bertamu ke rumah, Vito buru-buru meminta kakeknya ngumpet di bawah ranjang tempat tidur..

“Anak kamu itu sudah gila. Di depan saya mengaku sakit, jadi ndak sekolah kemarin. Ternyata sama gurunya dia bilang kalo kakeknya meninggal,” kata kakek pada mama Vito (Bab 2).

Uniknya, novel setebal 342 halaman ini proses kreatifnya memerlukan waktu yang relatif singkat, yakni tidak kurang dari dua bulan. Selain itu, novel ini sebagian persen ditulis berdasarkan kisah nyata, yaitu pada bagian: Cari biji akasia, gembalain kerbaunya orang, jalan kaki dari Corawali ke Pakkasalo. Kedua informasi tersebut saya peroleh dari sang penulis via private message Facebook. 

Setting novel pun sangat detil, lumayan kuat nilai lokalnya dan cara penceritaannya pun natural meski mengalami titik lemah pada penokohannya yang kadang sinetronik. Paling tidak, perjuangan Sabir ST (nama asli penulisnya) -- yang mengaku baru kali ini menang lomba novel dan berdarah-darah dengan penolakan—mengaduk emosi pembaca tak berujung sia-sia. Maka, tak salah alamat jika Republika menetapkannya menjadi jawara.

Ok, sepertinya mengalokasikan dana untuk membeli buku ini tidak akan membuat Anda jatuh miskin. Malah, membuat Anda mengerti betapa bermaknanya keluarga sehingga selalu membuat rindu. Sangat inspiratif. Selamat membeli dan membaca.

Muhammad Sholich Mubarok

Jl.Pertanian III/48 Lebak Bulus

Jakarta Selatan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement