Jumat 23 Mar 2012 17:06 WIB

Sejarah Komik (I), Soft Power Domestik

action comics
Foto: ap
action comics

REPUBLIKA.CO.ID,Dua seniman Muslim asal Amerika Serikat (AS), Adil Imtiaz dan Kamil Imtiaz, sejak Januari 2011 menerbitkan serial cerita buku komik tentang Buraaq, tokoh pahlawan super Muslim. Di artikel Republika.co.id “Buraaq, Superhero Muslim Si Pembawa Pesan Perdamaian”, dituliskan bahwa melalui serial Buraaq, Adil Imtiaz dan Kamil Imtiaz ingin menyampaikan pesan damai tentang Islam kepada masyarakat AS dan buku komik dianggap sebagai wadah yang cukup tepat untuk menghindari kesan kaku serta dapat menjangkau semua kalangan. Sebenarnya sejak tahun 1940, buku komik di AS sudah dipergunakan untuk menyampaikan pesan sosial dari sang seniman kepada pembaca.  

Sebelum AS menyatakan diri menjadi bagian dari kekuatan Sekutu di Perang Dunia II, yaitu setelah penyerangan Pearl Harbour di tanggal 7 Desember 1941, tokoh pahlawan super mereka sudah terlebih dahulu melawan Nazi dalam cerita buku komik. Di tahun 1940, Timely Publications, cikal bakal Marvel Comics, merupakan salah satu penerbit buku komik pertama yang menggambarkan Nazi sebagai musuh dari tokoh buku komiknya. Pada tahun tersebut, Timely Publications menerbitkan beberapa cerita yang di dalamnya tokoh pahlawan super Sub-Mariner melawan Nazi di laut agar kapal-kapal laut milik Inggris dan AS dapat melintas dengan aman. Begitu juga dengan Captain America yang diterbitkan Timely Publications, di sampul edisi perdananya pada bulan Maret 1941 digambar memukul Hitler.  

Memasuki periode awal 1950-an, sebelum peristiwa bersejarah Montgomery Bus Boycott yang dilakukan oleh Rosa Parks pada tahun 1955 untuk menentang perlakuan segregasi ras di AS, sebuah penerbit buku komik dengan nama EC (Entertaining Comics) sudah menerbitkan cerita yang mengkritik segregasi ras. Selama periode 1950-an, EC terus menerbitkan beberapa serial buku komik yang mengkritik norma-norma masyarakat AS pada masa itu. Ini sudah mereka lakukan sebelum counter culture menjadi populer dan salah satu ciri khas sejarah AS pada periode 1960-an dan 1970-an.

Pada tahun 1966, National Periodical Publications, cikal bakal DC Comics, turut menerbitkan sebuah cerita tentang masalah perbedaan ras. Justice League of America diceritakan membantu menyelesaikan tiga masalah yang terkait dengan SARA. Di akhir cerita, Hawkman, salah satu tokoh pahlawan super, ditulis mengatakan bahwa manusia harus dapat memahami dan menerima perbedaan ras, kepercayaan, dan kebudayaan agar tercapai kedamaian.  

Pemerintah AS pun tampaknya mengakui kemampuan buku komik untuk mempengaruhi pemikiran pembaca. Pada tahun 1971, Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan AS meminta bantuan Marvel Comics untuk terlibat dalam kampanye melawan obat terlarang yang menjadi masalah sosial yang mengkhawatirkan di masa itu. Hasilnya adalah tiga cerita Spider-Man di bulan Mei hingga Juli 1971 yang menggambarkan penggunaan obat terlarang sebagai perilaku yang berbahaya bagi seseorang.  

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana para seniman buku komik menyampaikan pesan sosial secara jelas kepada pembaca. Namun di periode 1960-an, seniman-seniman tersebut turut menyampaikan pesan sosial secara tersirat. Bahkan bentuk cerita seperti ini menjadi efektif membuat pembaca mengidolakan para tokoh pahlawan super dalam kehidupan mereka. Pada tahun 1965, sebuah penelitian menunjukkan bahwa pelajar yang radikal di AS mensejajarkan Spider-Man dan Hulk, dengan Bob Dylan dan Che Guevara, sebagai lambang pergerakan revolusioner (Wright, 2001). 

 

Penulis: Patria Pinandita Ginting Suka MA (penggemar komik, anggota Departemen Politik Dewan Pertimbangan Pusat (DPP) PDI Perjuangan yang saat ini juga bekerja sebagai tenaga ahli anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI Komisi VI)

sumber : comics
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement