REPUBLIKA.CO.ID,Dari tiga puluh tahun yang silam hingga sekarang, perkembangan jazz tidak terlalu banyak berubah. ''Jazz di Indonesia masih tertatih-tatih.'' Pernyataan ini dikemukakan Buby Chen beberapa tahun lalu.
Seretnya perkembangan jazz dibanding jenis musik lain, kata Buby, bagaikan lingkaran setan yang tak bakal habis dibicarakan. Meskipun demikian ada beberapa hal yang dapat disebutkan. Pertama, terletak pada musisinya sendiri. Selama ini musisi jazz Indonesia kebanyakan lupa menggali potensi diri sendiri mencari kemungkinan jazz. Kebanyakan mereka asyik bermain dalam aliran jazz yang lebih banyak digemari masyarakat, misalnya fussion.
Meskipun itu tidak salah, kata Buby, kebiasaan bermain dalam satu jenis musik jazz merupakan sebuah ketertinggalan. ''Kalau mau main jazz yang benar belajar dulu mainstream. Kalau ini sudah bener, ibarat burung bisa hinggap di mana saja, dan tidak ditertawakan orang lain, atau istilahnya anak muda ngepotnya tepat'' kata Buby.
Fussion menurut Buby bisa diterima masyarakat karena fussin lebih ritmis dibanding jazz lainnya. Oleh karena itu tidak mengherankan bila bangsa Indonesia yang memang lebih menyukai hal-hal yang ritmis baru kemudian melodi, dan harmoni. Tapi, lanjut Buby, seorang musisi jazz tidak boleh terpaku dengan fussion saja dan jarang menjamah yang lainnya.
Jazz, bagi Buby, adalah sebuah pohon yang membutuhkan akar yang kuat untuk bercokol. Buby pun mengibaratkan sebagai sebuah pohon, jazz dibangun dari akar Blues ditopang oleh batang yang disebut mainstream jazz atau pure jazz dan baru ranting yang menaungi mulai dari free jazz hingga dixieland. Oleh karena itu sebelum beranjak ke jazz yang lebih ngepop, kata Buby, setidaknya seorang musisi jazz menguasai terlebih dulu Jazz hingga ke intinya. ''Tapi saya juga senang dengan fussin karena itu termasuk jazz juga. Tetapi seorang musisi jazz harus terus belajar mainstream,'' kata Bubby.
Permasalahan lain yang menyebabkan adalah karena sistem yang membuat pertunjukan jazz selalu dianggap mahal dan eksklusif. Orang merogoh koceknya lebih hingga puluhan ribu sekadar untuk menikmati jazz. Berikutnya adanya tawar-menawar yang ketat yang diajukan promotor. Termasuk pertimbangan sejauh mana keuntungan yang bakal didapat. Belum lagi soal tempat dan pertimbangan teknis lainnya. ''Memang banyak sekali hambatannya. Jazz kondisinya tertatih-tatih,'' kata Buby. Toh apapun keadaannya, Buby masih menyimpan harapan, termasuk anak-anak muda yang kini mulai kritis terhadap jazz.