REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Kematian pendiri Apple, Steve Jobs, meninggalkan sejumlah pertanyaan. Salah satunya, dan banyak membuat penasaran, adalah agama yang dianut Jobs. Pasalnya, sang inovator teknologi ini jarang mengumbar cerita soal kehidupan pribadinya.
Sebelum pindah ke Sillicon valley, Jobs mendalami ajaran Zen, sebuah aliran dalam agama Buddha Mahayana. Aliran Zen yang didalaminya fokus pada usaha mencapai pencerahan atau kesempurnaan. Namun, sejumlah kalangan menganggap apa yang didalami Steve, bertolak belakang dengan perilakunya.
"Dia adalah seorang yang tercerahkan namun kejam. Itu kombinasi yang aneh,” ungkap mantan pacar Jobs, seperti dikutip thehuffingtonpost.com, Kamis (3/11).
Ironi lain, dalam biografinya yang dituliskan Walter Isaacson, pada usia 13 tahun, Jobs bertanya kepada pendeta gereja Lutheran soal anak-anak kelaparan. “Ya, Tuhan tahu segalanya,” jawab pendeta. Mendengar jawaban itu, Jobs kecewa. Semenjak itu, ia menolak untuk menyembah 'Tuhan' yang mengizinkan penderitaan macam itu.
Kecewa dengan sikap Gereja, Jobs segera beralih pada kepercayaan Timur terutama India dan Cina. Ia kemudian mempelajari Buddha aliran Zen. Pada tahun 1974, Jobs melakukan perjalanan ke India, mencari guru spiritual. Setelah kembali, ia bertemu seorang penganut Zen, kobun Chino Otagawa, yang membuka pusat meditasi Zen Haiku.
Jobs segera hanyut dalam ajaran itu. "Saya menghabiskan waktu bersamanya sebanyak yang saya bisa," kata Isaacson menirukan suara Jobs. "Zen punya pengaruh yang mendalam dalam hidupnya sejak itu," lanjutnya.
Jobs bahkan diketahui bepergian ke Eihei-ji, kuil utama Zen di Jepang. Tapi kobun, karena ia dikenal, menasihati Jobs untuk tinggal di California.
Les Kaye, seorang guru Zen di Silicon Valley, mengingat kobun sebagai sosok misterius dan bijaksana. "Dia adalah lambang makhluk tercerahkan: manis, baik dan murah hati. Orang-orang berbondong-bondong kepadanya," kata Kaye.