Kamis 11 Dec 2025 16:34 WIB

Waspada, Remaja Rentan Terpapar Ideologi Ekstrem di Gim Online

Perlu penguatan literasi digital, deteksi dini, dan pengawasan.

Anak bermain game online (ilustrasi). Pengawasan perlu diperkuat agar remaja tak terpapar ideologi ekstremisme di gim online.
Foto: Dok. Freepik
Anak bermain game online (ilustrasi). Pengawasan perlu diperkuat agar remaja tak terpapar ideologi ekstremisme di gim online.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pencegahan paparan ekstremisme melalui gim online harus menjadi perhatian semua pihak, termasuk para orang tua, seiring meningkatnya upaya kelompok radikal menjangkau anak dan remaja melalui ruang digital. Modus penyebaran kini tidak lagi hanya lewat media sosial, tetapi juga melalui fitur percakapan dan komunitas di dalam gim yang sulit diawasi orang tua maupun sekolah.

Fenomena ini mendorong perlunya penguatan literasi digital, deteksi dini, dan pengawasan platform untuk menutup celah rekrutmen ekstremis terhadap pengguna muda. Berbagai pihak menyoroti pentingnya kesiapsiagaan keluarga dan lembaga pendidikan terhadap pola rekrutmen tersembunyi yang dibungkus sebagai hiburan digital.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Ruang Damai Zainal Abidin menyampaikan bahwa ruang digital telah menjadi medium baru bagi kelompok ekstremis. “Kelompok teroris kini menggunakan media sosial dan gim online sebagai gerbang masuk untuk memaparkan ideologi ekstremis dan merekrut anak-anak di Indonesia. Kita harus memastikan anak-anak memiliki benteng digital yang kuat,” ujar dia dalam siaran pers, Kamis (11/12/2025).

Isu tersebut dibahas dalam webinar “Mabar ke Terpapar” yang mempertemukan ratusan peserta dari kalangan akademisi, pendidik, mahasiswa, serta pegiat anak. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menekankan pentingnya literasi digital agar anak mampu membedakan konten positif dan manipulatif. Ia mengingatkan bahwa generasi muda perlu mengambil peran dengan memproduksi lebih banyak konten bernilai positif untuk menandingi konten bermuatan kekerasan atau intoleransi.

Ia juga merujuk PP 17 Tahun 2025 yang mengatur perlindungan anak di ranah daring, termasuk hak anak atas informasi yang sehat dan aman.

Ai menegaskan bahwa pemenuhan hak anak harus berlangsung tanpa diskriminasi dan berlandaskan kepentingan terbaik anak. Menurutnya, regulasi perlindungan daring merupakan pondasi agar anak tidak terpapar kekerasan digital seperti terorisme maupun pornografi.

Pakar Manajemen Komunikasi IISIP Jakarta Syafril Tahar menyoroti pola indoktrinasi yang muncul dalam gim online, sering kali tersamar sebagai percakapan atau tantangan permainan. “Anak-anak tidak boleh terjebak indoktrinasi daring yang mengarah pada kekerasan, kebencian, dan intoleransi,” ujarnya. Ia menilai strategi komunikasi preventif perlu diperkuat agar sinyal paparan ekstremisme dapat dikenali sejak awal.

Sementara itu, perwakilan Komdigi Kementerian Komunikasi dan Digital RI Nancy Laura Sitinjak menjelaskan bahwa peran platform digital semakin besar karena mengelola data pengguna, sebagian besar di antaranya adalah anak dan remaja.

Ia menegaskan pentingnya pengawasan untuk memastikan aplikasi dan gim online tidak membuka akses menuju konten terlarang. “Itu tentu menjadi dorongan bagi kami mengawasi para platform untuk memastikan ruang digital ini sesuai untuk anak lebih aman lebih sehat dan berpihak untuk tumbuh kembang anak,” katanya.

Diskusi tersebut diharapkan dapat mendorong kolaborasi antara orang tua, pendidik, pemerintah, dan komunitas muda untuk memperkuat ekosistem digital yang aman melalui literasi kritis dan nilai-nilai perdamaian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement