REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Jakarta Literary Festival (JILF) 2025 kembali hadir. Mengangkat tema 'Homeland in Our Bodies/Tanah Air dalam Tubuh Kita', JILF 2025 berupaya memangkas jarak antara sastra dan politik serta antara sastra dan gerakan publik.
JILF 2025 digelar pada 13–16 November 2025 di Taman Ismail Marzuki. Malam Pembukaan digelar Kamis (13/11/2025) di Plaza Teater Besar. Tahun ini, JILF menghadirkan rangkaian program yang beragam seperti Bincang Penulis, Baca Kata, Tumbuh dan Merambat serta Baca Kata.
Bincang Penulis (Authors’ Forum) mempertemukan 23 penulis Indonesia dari berbagai daerah seperti Bireuen, Boyolali, Singkawang, Larantuka, Mamuju, hingga Paniai serta 4 penulis mancanegara.
Program Baca Kata (Reading Night) akan menghadirkan pembacaan karya dari 11 penulis, serta Tumbuh dan Merambat (Live Mural) yang menampilkan proses pembuatan mural oleh 6 seniman dengan interpretasi visual masing-masing.
Program lainnya mencakup Program Kolaborasi (Fringe Events) berupa peluncuran buku dan diskusi isu aktual, Pasar Kata (Community Showcase) yang mempertemukan berbagai komunitas literasi dan budaya, Pasar Buku (Bazaar), dan penutupan melalui Pentas Kata (Performance).
Politik dan Sastra sebagai Gerakan Publik
“Melalui perspektif kemanusiaan (humanity), Homeland in our Bodies hendak memberi garis bawah pada sikap politik sastra sebagai bagian dari gerakan publik dalam kerangka festival. Makna tanah air terintegrasi dengan makna kemanusiaan, sebab tanah air termanifestasikan pada tubuh manusia, pada tubuh kita,” ujar Kiki Sulistyo, salah satu kurator Jakarta International Literary Festival (JILF) 2025.
Dalam kerangka ini, sastra menjadi bagian dari perlawanan terhadap segala akibat dari keputusan yang mencederai kemanusiaan, sekaligus berupaya mengembalikan martabat kamusiaan kepada hakikatnya. Dengan demikian, festival sastra dapat dibaca sebagai implementasi praktis gerakan perlawanan dan beriringan dengan gerakan solidaritas lain guna menegaskan kembali kemanusiaan di tanah air. Selain Kiki, dua kurator JILF 2025 lainnya yakni Evi Mariani dan Ronny Agustinus.
Direktur Eksekutif JILF 2025, Avianti Armand mengatakan kemanusiaan merupakan topik yang terlintas pertama kali saat menggodok ide festival sastra kelima yang berlangsung sejak 2019.
“Tema yang paling tepat untuk diangkat dan direspons adalah tentang kemanusiaan. Kami ambil sebaris puisi Darwish yang dikembangkan jadi Homeland in Our Bodies. Karena kita tidak sendiri bicarakan kemanusiaan,” ungkapnya.
Katharine E. McGregor, penulis sekaligus profesor sejarah Indonesia, mengajak pembaca merenungkan tema JILF 2025 dan kaitannya dengan narasi sejarah tentang tanah air yang tidak pernah tunggal. Ia juga menekankan pentingnya menggali kemanusiaan bersama sebagai bentuk refleksi kritis.
“Tema festival mengajak kita untuk merenungkan interpretasi yang beragam, inklusif, dan adil tentang tanah air, melampaui definisi sempit dan eksklusif tentang sebuah bangsa,” ujarnya.
Selain sebagai wadah aktivisme dan solidaritas, penyelenggaraan JILF 2025 menguatkan status Jakarta sebagai kota literasi yang disematkan oleh UNESCO. Ketua Dewan Kesenian Jakarta Bambang Prihadi menyatakan bahwa perhelatan JILF 2025 menjadi titik temu atau ruang terbuka bagi berbagai kepentingan politik, agama, dan ekonomi.
“Pertanyaannya, mampukah forum panen karya sastra ini melampaui kepentingan pragmatis dan mengikis karat ketidakadilan di negeri ini? Selain memiliki daya tawar mempertemukan sastrawan untuk menyatakan sikap pada krisis global, baik krisis kemanusiaan, lingkungan hidup, dan lainnya,” ucapnya.