REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO — Jepang mencatat sejarah baru setelah Sanae Takaichi terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah negara tersebut. Politikus berhaluan ultrakonservatif dan nasionalis itu resmi menggantikan Shigeru Ishiba usai memenangkan pemungutan suara di parlemen, Selasa (21/10/2025).
Takaichi (64 tahun) akan dilantik sebagai perdana menteri ke-104 Jepang. Ia memperoleh jabatan tersebut setelah Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dipimpinnya membentuk koalisi dengan Partai Inovasi Jepang (Ishin) yang berhaluan kanan.
Dalam pidato kemenangannya, Takaichi menyebut dirinya sebagai penerus politik mantan perdana menteri Shinzo Abe, tokoh yang selama ini menjadi mentornya. Ia juga berjanji menunjuk Satsuki Katayama sebagai menteri keuangan perempuan pertama Jepang, di tengah tekanan ekonomi akibat kenaikan harga dan perlambatan pertumbuhan.
“Saya telah mengorbankan keseimbangan hidup saya. Saya akan bekerja, bekerja, dan bekerja untuk mengubah kecemasan masyarakat menjadi harapan,” ujar Takaichi, dilansir dari Independent, Rabu (22/10/2025).
Takaichi menghadapi tugas besar memulihkan kepercayaan publik terhadap LDP yang tergerus oleh skandal korupsi dan melonjaknya biaya hidup. Ia juga harus menyatukan partainya yang terpecah, sekaligus menangani krisis demografis yang kian membebani ekonomi Jepang.
Dalam pidato usai terpilih, Takaichi mengakui bahwa dirinya tidak ingin larut dalam euforia kemenangan. “Saat ini saya tidak merasa bahagia, tetapi terbebani oleh gunung tantangan yang harus saya hadapi bersama semua pihak,” katanya. “Kami harus menjadikan partai ini lebih bersemangat dan cerah, agar bisa mengubah kekhawatiran rakyat menjadi harapan.”
Sebelum menjadi perdana menteri, Takaichi pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri dan keamanan ekonomi. Ia dikenal mengagumi mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher, yang dijuluki Iron Lady, dan menjadikannya inspirasi politik.
Takaichi bahkan pernah bertemu Thatcher sebelum wafatnya pada 2013. “Tujuan saya adalah menjadi Iron Lady,” ujarnya dalam salah satu kampanye.
Dikenal tegas dan berkarakter kuat, Takaichi juga dikenal sebagai penggemar musik heavy metal dan pemain drum. Ia rutin berziarah ke Kuil Yasukuni, yang menghormati prajurit Jepang yang gugur dalam perang termasuk sejumlah penjahat perang. Ini menjadi sebuah tindakan yang kerap menuai kritik dari negara-negara tetangga Asia.
Meski menjadi perempuan pertama yang memimpin Jepang, pandangan Takaichi terhadap isu-isu gender terbilang konservatif. Ia menolak legalisasi pernikahan sesama jenis serta kebijakan yang mengizinkan pasangan suami istri menggunakan nama keluarga berbeda. Ia juga mendukung sistem suksesi kaisar yang hanya memperbolehkan laki-laki.
Yuki Tsuji, pakar politik dan gender dari Universitas Tokai, menilai Takaichi tidak memiliki minat terhadap isu kesetaraan gender. “Kemungkinan besar tidak akan ada perubahan signifikan pada kebijakan kesetaraan gender dibanding pemerintahan LDP sebelumnya,” kata Tsuji.
Namun, Tsuji menambahkan kehadiran perempuan di pucuk pimpinan Jepang tetap memiliki arti simbolis besar. “Jika ia gagal menunjukkan kinerja positif, hal ini justru bisa memperkuat persepsi negatif terhadap kemampuan perempuan sebagai perdana menteri,” ujarnya.
Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia 2025, Jepang menempati peringkat ke-118 dari 148 negara dalam Indeks Kesenjangan Gender Global, dengan keterwakilan perempuan di parlemen hanya sekitar 15 persen.