REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji menyerukan seluruh musisi Indonesia, termasuk mereka yang tergabung di VISI (Vibrasi Suara Indonesia) maupun AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia), untuk bersatu menuntut transparansi dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN. Menurut Anji, polemik tata kelola royalti di Indonesia sudah terlalu lama dibiarkan tanpa kejelasan.
la menilai, sekarang adalah waktu yang tepat bagi para pelaku industri musik untuk bersuara secara kolektif dan mendesak perbaikan sistem. "Lupakan AKSI, lupakan VISI, lupakan asosiasi musisi apa pun. Sekarang waktunya musisi bersatu mempertanyakan kinerja LMK dan LMKN," kata Anji dalam unggahan di Instagram pribadinya, dikutip pada Rabu (13/8/2025).
la juga mengajak para pengusaha, khususnya yang dikenai kewajiban membayar royalti atas pemutaran lagu di tempat usaha mereka, untuk turut mempertanyakan transparansi pengelolaan dana tersebut. "Pun pengusaha yang ditagih royalti atas pemutaran lagu di tempat mereka. Pertanyakan transparansi," kata dia.
Pernyataan Anji ini muncul setelah Ari Lasso melontarkan kritik terhadap sistem distribusi royalti di lembaga manajemen kolektif Wahana Musik Indonesia (WAMI). Ari mengaku hanya menerima sekitar Rp700 ribu dari total royalti yang seharusnya mencapai puluhan juta rupiah.
Menurut Anji, Ari Lasso bukan satu-satunya musisi yang mempertanyakan transparansi distribusi royalti. Banyak pencipta lagu lain yang juga menjadi anggota LMK menyampaikan mosi tidak percaya terhadap kinerja lembaga tersebut.
"Yang jelas banyak musisi dan pencipta lagu, yang juga menjadi anggota dari lembaga manajemen kolektif, memiliki mosi tidak percaya terhadap kedua lembaga tersebut. Bagaimana mereka meng-collect royalti, dan bagaimana sistem yang dilakukan untuk mendistribusikan royalti secara adil dan merata. Itu yang harus diperjelas," kata Anji.
la menegaskan menurut pasal 90 Undang-Undang Hak Cipta dan pasal 17 PP 56, LMK dan LMKN wajib menyampaikan laporan audit kinerja dan keuangan kepada publik, maupun melalui media cetak atau elektronik, minimal satu tahun sekali. Namun, transparansi tersebut dinilai masih sangat minim. Bahkan menurut Anji, LMKN pernah menolak memberi laporan keuangan kepada AKSI karena merasa hanya bertanggung jawab ke Kementerian Hukum dan HAM, bukan kepada publik atau asosiasi musisi.
"Jadi emang agak lucu. Padahal mereka mendapatkan dana operasional dari para pencipta lagu yang royaltinya dikumpulkan, tapi mereka tidak bertanggung jawab atas laporannya," kata dia.
Karenanya itu, Anji menilai saat ini adalah waktu yang tepat untuk duduk bersama dan menuntut transparansi dari LMK dan LMKN. "Sekarang waktunya memperbaiki tata kelola industri musik Indonesia supaya semua pihak mendapatkan keuntungan sesuai haknya, Pengusaha tenang menjalankan usahanya, Musisi Kafe tidak kehilangan pekerjaannya," tegas dia.