REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Wamenko Kumham Imipas) Otto Hasibuan menilai revisi Undang-Undang (UU) Hak Cipta menjadi sangat penting untuk memberikan kepastian hukum terkait royalti. Kepastian ini dibutuhkan oleh semua pihak, mulai dari pencipta, masyarakat, konsumen, hingga pelaku usaha seperti pemilik kafe dan restoran yang memutar lagu di ruang komersial.
Menurut Otto, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih memiliki banyak celah. Salah satu yang paling disoroti adalah ketidakjelasan mengenai royalti, terutama soal ancaman pidana yang bisa langsung diterapkan jika pembayaran royalti tidak dilakukan.
"Itu kan harus ada ketegasan-ketegasan. Tidak bisa begitu," kata Otto saat ditemui di Jakarta, Senin (11/8/2025).
Baginya, aturan yang ambigu ini tidak hanya merugikan, tetapi juga berpotensi menciptakan masalah di lapangan. Otto menjelaskan, berdasarkan UU yang berlaku saat ini, para pengusaha yang memutar lagu di ruang publik komersial memang wajib membayar royalti.
Selama ini, pemungutan royalti tersebut dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, Otto mengungkapkan adanya kasus-kasus di mana LMKN bukanlah satu-satunya pihak yang memungut royalti. Dalam perjalanannya, kata dia, terkadang terdapat kasus di mana tak hanya LMKN yang memungut royalti, tetapi juga para pencipta lagu. "Jadi ini ada yang enggak beres kan? Enggak bisa ditetapkan," ujarnya.