Jumat 25 Jul 2025 19:59 WIB

Motif di Balik Fenomena 'Rojali' dari Sisi Psikologi, Baca Selengkapnya!

Dari sudut pandang psikologi, 'rojali' lebih kompleks dari sekadar tak punya uang.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan (ilustrasi). Psikolog menjelaskan munculnya fenomena rojali dan rohana dari sudut pandang psikologis.
Foto: Republika/Prayogi
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan (ilustrasi). Psikolog menjelaskan munculnya fenomena rojali dan rohana dari sudut pandang psikologis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah "rojali" (rombongan jarang beli) atau "rohana" (rombongan hanya nanya) menjadi fenomena yang kini banyak dijumpai di pusat perbelanjaan. Fenomena ini merujuk pada kelompok pengunjung yang datang, menanyakan harga, mencoba produk, namun pada akhirnya tidak melakukan pembelian sama sekali.

Psikolog Kasandra Putranto mengatakan perilaku ini, dari sudut pandang psikologi, jauh lebih kompleks daripada sekadar "tidak punya uang". Menurut Kasandra, fenomena ini bisa dijelaskan melalui hierarki kebutuhan manusia. Kunjungan ke pusat perbelanjaan, bagi sebagian orang, tidak semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar seperti membeli barang.

Baca Juga

Sebaliknya, hal itu sering kali berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial dan aktualisasi diri. "Manusia memiliki lima tingkat kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri," kata psikolog klinis dan forensik lulusan Universitas Indonesia itu di Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Dengan demikian, pergi ke mal bisa menjadi sarana untuk berkumpul, mencari penyegaran (refreshing), bahkan pemulihan (healing). Salah satu pendorong utama di balik perilaku "rojali" adalah strategi untuk membentuk citra diri. Sering kali, seseorang berperilaku seolah ingin membeli sesuatu sebagai upaya untuk menampilkan diri sebagai konsumen yang berdaya beli di hadapan pramuniaga, teman-teman, atau bahkan di hadapan dirinya sendiri.

Selain itu, ada pula mekanisme perlindungan harga diri. Ketika seseorang menyadari bahwa mereka tidak mampu membeli suatu barang yang sangat diinginkan, terutama saat berada di lingkungan yang sangat konsumtif, akan timbul konflik batin. Untuk meredakan perasaan malu, kecewa, atau tidak nyaman yang muncul, mereka akan melakukan tindakan seolah-olah memiliki minat membeli.

"Ketika seseorang sadar bahwa dia tidak mampu membeli, tapi, sangat ingin atau berada di lingkungan konsumtif, timbul konflik batin. Untuk meredakan perasaan malu, kecewa, atau tidak nyaman itu, mereka melakukan tindakan seolah-olah membeli," ujar Kasandra. 

Niat membeli yang tidak diwujudkan menjadi tindakan nyata juga sering dipengaruhi oleh persepsi kontrol dan norma sosial. Ketika seseorang merasa tidak mampu membeli karena harga yang terlalu tinggi atau ragu akan manfaat barang tersebut, niat tersebut bisa batal dengan sendirinya. Meskipun demikian, perilaku bertanya dan mencoba produk tetap dilakukan.

Kebutuhan akan identitas sosial juga turut mempengaruhi fenomena ini. Menurut Kasandra, mengunjungi tempat elite atau yang sedang tren, meskipun tanpa membeli, bisa menjadi bentuk penegasan diri sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu. Hal ini juga dapat didorong oleh motif untuk mendapatkan konten media sosial, validasi sosial, atau eksistensi online.

"Hanya dengan melihat-lihat produk atau masuk ke toko tertentu, seseorang merasa memperoleh nilai simbolik, meskipun tidak membeli," ujar Kasandra. 

Di samping didorong oleh rasa gengsi atau validasi diri, Kasandra menyebutkan fenomena "rojali" juga dapat didorong oleh faktor budaya. Dalam konteks budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, perilaku berpura-pura tertarik meski tidak berniat membeli juga dapat dipahami sebagai bentuk konformitas terhadap norma sosial.

"Secara budaya, terkadang pelanggan merasa harus menghargai tenaga penjual dengan berpura-pura tertarik, meski tahu tidak akan membeli," katanya.

Perlu diingat bahwa perilaku sekadar melihat-lihat atau bertanya tanpa membeli juga bisa merupakan bagian dari pencarian informasi prapembelian, yang merupakan proses normal sebelum seseorang memutuskan untuk membeli suatu barang. "Konsumen sering melakukan pencarian informasi terlebih dahulu atau window shopping sebelum membuat keputusan pembelian," kata Kasandra.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement