REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – jenama lokal di Indonesia dianggap telah memasuki fase 'Local Brand Winter'. Opini tersebut muncul dari pengamatan Hypefast, perusahaan yang membantu mengembangkan jenama lokal berkembang di Indonesia.
Mengadaptasi istilah dari Tech Winter yang populer di industri teknologi, Local Brand Winter merupakan periode kecenderungan penurunan untuk industri jenama lokal. Cirinya ditandai dengan pertumbuhan yang melambat secara signifikan, investasi yang menurun bahkan hingga penutupan bisnis, setelah periode yang menunjukan sebaliknya.
Di akhir tahun 2024, sejumlah jenama lokal yang digemari oleh konsumen terpaksa menghentikan kegiatan operasional karena besarnya kompetisi. Syca, Roona Beauty, dan Matoa adalah beberapa contoh brand lokal yang terpaksa gulung tikar.
“Seperti fenomena Tech Winter yang dalam beberapa tahun silam melanda perusahaan-perusahaan berbasis teknologi, industri brand lokal juga tengah mengalami fenomena Local Brand Winter, terutama di bidang Kecantikan. Kita melihat dalam waktu kurang dari satu tahun ke belakang, banyak brand lokal kecantikan yang memutuskan untuk berhenti kegiatan operasional. Faktor paling besar adalah kompetisi yang terlalu kuat dari brand luar terutama brand dari China,” ujar CEO dan Founder dari Hypefast, Achmad Alkatiri, dikutip dari siaran pers, Selasa (25/3/2026).
Padahal di periode sebelumnya terutama di 2021-2023, sinyal kuat positif muncul dari berbagai jenama lokal Indonesia. Misalnya dalam hal pendanaan dari investor ternama seperti merek kecantikan Rose All Day, Base, ESQA dan lainnya. Tidak hanya itu, sinyal positif juga datang dari dominasi pertumbuhan penjualan di platform online seperti Shopee dan Tiktok Shop.
Melalui konferensi pers pada bulan November tahun 2024, Hypefast telah mengomunikasikan peningkatan kompetisi yang drastis dari kehadiran merek-merek yang berasal dari China. Mereka memasuki pasar Indonesia dengan modal yang jauh lebih kuat dibandingkan lokal.
Hal ini ditunjukkan dari data internal Hypefast yang temukan bahwa jenama yang berasal dari China memiliki kemampuan menghabiskan 30-40 persen dari total omset bisnis untuk kegiatan pemasaran. Sedangkan, jenama lokal pada umumnya hanya memiliki kemampuan untuk melakukan 10 persen sehingga bisa mempertahankan laba.
Agresifnya pemasaran yang disesuaikan dengan konsumen Indonesia ini menyebabkan begitu banyak jenama lokal mengalami kesulitan dalam mengejar pertumbuhan yang sehat (sustainable growth) di negeri sendiri. Termasuk sulit memenangkan konsumen dan meningkatkan penjualan. Bahkan dari hasil survei Hypefast, enam dari 10 orang Indonesia tidak berhasil membedakan jenama yang berasal dari China dengan jenama asli Indonesia.
“Berbagai brand lokal yang memutuskan untuk tutup di tahun 2024, memberikan sinyal negatif terhadap investor yang pada periode sebelumnya memiliki appetite. Ini akan menurunkan jumlah investasi secara keseluruhan, padahal untuk bisa berkompetisi dengan brand dari Tiongkok yang habis-habisan dalam pemasaran dan produk, dibutuhkan modal yang signifikan. Tanpa hal itu, bukan tidak mungkin, tapi brand lokal harus lebih resilience dalam menyusun strategi,” kata Achmad.
Strategi bertahan...