Ahad 09 Feb 2025 17:05 WIB

Margo Redjo: Jejak 110 Tahun Kopi Nusantara yang tak Lekang oleh Zaman

Pabrik penyangraian Margo Redjo dibuka untuk pengunjung kedai.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Qommarria Rostanti
Suasana Rumah Kopi Margo Redjo yang berlokasi di Jalan Wotgandul Barat Nomor 14, Kranggan, Semarang Tengah, Jawa Tengah, Sabtu (8/2/2025). Margo Redjo adalah perusahaan kopi yang sudah berusia 110 tahun. Sejak 2023, Margo Redjo membuka pabrik lawasnya untuk umum.
Foto: Republika/Kamran Dikarma
Suasana Rumah Kopi Margo Redjo yang berlokasi di Jalan Wotgandul Barat Nomor 14, Kranggan, Semarang Tengah, Jawa Tengah, Sabtu (8/2/2025). Margo Redjo adalah perusahaan kopi yang sudah berusia 110 tahun. Sejak 2023, Margo Redjo membuka pabrik lawasnya untuk umum.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Tan Tiang le merintis perusahaan kopi bernama Margo Redjo pada 1915. Warga keturunan China asal Semarang, Jawa Tengah, ini membuka perjalanannya bersama Margo Redjo di Cimahi, Jawa Barat.

Mungkin tak tebersit dalam benak Tan kala itu bahwa usaha kopi yang digagasnya akan mampu melintasi zaman dan bertahan hingga 2025 atau berusia 110 tahun. Sebelum ke Cimahi, Tan Tiang le tinggal di sebuah rumah bergaya indis yang berlokasi Jalan Wotgandul Barat, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah Nomor 12.

Baca Juga

“Kenapa beliau pindah ke Cimahi? Itu saya rasa karena waktu itu rumah ini semakin penuh. Karena dulu kan tidak dikenal bahwa keluarga, kalau sudah punya anak, sudah dewasa, merantau keluar dari rumah induknya. Mungkin karena rumahnya terlalu penuh, beliau pindah ke Cimahi,” kata Widayat Basuki Dharmowiyono (80 tahun), cucu dari Tan Tiang le yang kini mengelola Margo Redjo, ketika ditemui Republika.co.id pada Sabtu (8/2/2025).

Basuki mengungkapkan, sebelum memutuskan mendirikan perusahaan kopi Margo Redjo pada 1915, kakeknya sudah melakoni beberapa usaha lain, antara lain menjual roti dan kayu. Namun usaha-usaha tersebut tak membuahkan hasil yang diharapkan. Ketika pindah ke Cimahi, Tan Tiang le memutuskan menjajal bisnis kopi. “(Tahun 1915) itu kan bertepatan dengan masuknya kopi robusta ke Indonesia, atau ke Jawa tepatnya. Maka beliau berpikiran untuk menjadi pengolah kopi robusta awalnya,” ujar Basuki.

Setelah Margo Redjo berdiri hampir 10 tahun, Tan Tiang le memutuskan memindahkan usahanya ke Semarang pada 1924. Dia kemudian mendirikan pabrik penyangraian biji kopi di sebelah rumah orang tuanya di Jalan Wotgandul Barat pada 1926-1927. Saat ini Margo Redjo beralamat di Jalan Wotgandul Barat Nomor 14. Dalam bahasa Jawa, Margo Redjo artinya Jalan Kemakmuran.

Tan Tiang le terbilang sukses membesarkan usahanya. Basuki masih menyimpan lembaran berita dari surat kabar De Locomotief yang terbit pada 2 Oktober 1947. Dalam berita itu disebutkan bahwa pada 1929, Semarang mampu memasok 326 ton atau sekitar 69 persen dari ekspor kopi Hindia-Belanda. Dari 326 ton kopi asal Semarang, sekitar 200 ton di antaranya disuplai Margo Redjo. Sementara untuk pasar domestik, Margo Redjo berhasil menjual 750 ton kopi.

Beberapa mesin roasting atau penyangraian lawas yang menjadi saksi perjalanan Margo Redjo masih tersimpan di bangunan pabrik. Basuki mengungkapkan, dia memang merawat mesin-mesin tersebut agar tidak rusak. “Tapi mesin ini juga enggak ada upaya saya untuk memakai dan menghidupkan kembali. Ini tetap dipajang sebagai artefak saja,” kata dia.

Margo Redjo pertama kali membeli mesin penyangraian pada 1915, yakni merek Henneman. Pada 1920, perusahaan tersebut membeli mesin roasting kedua dengan merek yang sama, tapi dengan kapasitas lima kilogram. Kedua mesin sangrai tersebut berbahan bakar gas dan batu bara.

Seiring dengan perkembangan usaha kopinya, Margo Redjo mendatangkan mesin kopi ketiga dari Jerman dengan merek Karl Slipper. Mesin tersebut memiliki kapasitas sangrai 50 kilogram. Bahan bakarnya adalah minyak tanah dan kayu bakar. Margo Redjo kemudian membeli dua mesin sangrai lainnya bermerek Eureka. Mesin sangrai yang diproduksi perusahaan Belanda, yakni Nv Edesche Machinefabriek, memiliki kapasitas masing-masing 120 dan 60 kilogram.

Dalam perjalanannya, perusahaan Margo Redjo memiliki beberapa merek kopi untuk dipasarkan, yakni Sumber Urip, Gerobak Idjo, dan Mirama. Sumber Urip, yang berjenis robusta, dijual dalam bentuk bubuk. Mirama, yang dijual dalam jenis robusta dan arabika, juga dipasarkan dalam bentuk bubuk.

Jadi perusahaan keluarga

Setelah Tan Tiang le meninggal, perusahaan Margo Redjo diwariskan kepada putranya, yakni Tan Liang Tjay. Pada 1975, Tan Liang Tjay kemudian mewariskan perusahaan tersebut kepada anak laki-lakinya satu-satunya, yakni Widayat Basuki Dharmowiyono, yang kala itu berusia 30-an tahun. Basuki adalah anak ketiga dari empat bersaudara.

Basuki menceritakan pada awalnya, sebenarnya dia tak begitu tertarik meneruskan usaha kopi keluarganya. Basuki merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Dia mengaku sempat ditawari menjadi asisten dosen, yang selanjutnya akan membuka pintunya untuk menjadi dosen di universitas tersebut. “Saya sempat utarakan (tawaran menjadi asisten dosen) itu kepada ayah saya, terus langsung dicegat oleh ayah saya, “Enggak, kamu meneruskan ini (Margo Redjo) saja’,” kata Basuki.

Basuki mengatakan, ketika mulai mengambil alih pengelolaan Margo Redjo, iklim bisnis kopi di Tanah Air terbilang sulit. “Waktu itu perekonomian masyarakat masih belum seperti sekarang, di mana harga kopi atau harga barang yang murah itu pegang peranan di pasar. Jadi orang beli kopi bukan karena apa-apa, tapi harganya yang murah,” ujarnya.

Dia mengatakan, kala itu sudah mulai bermunculan produsen kopi saset. Menurutnya, peredaran kopi saset cukup memberi “pukulan” pada pelaku industri kopi yang menjual biji hasil sangrai. Margo Redjo, yang juga memiliki produk kopi bubuk, akhirnya harus bersaing dengan produk kopi saset yang harganya lebih murah.

Basuki mengungkapkan, ketika dia mulai memimpin Margo Redjo, produk yang dipasarkan perusahaannya terbatas pada robusta. “Ada (kopi jenis) arabika, tapi minim sekali,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, Margo Redjo mulai menyerap dan menjual banyak jenis kopi arabika pasca 2015. Kopi arabika beragam jenis itu dibeli Basuki dari petani dari seluruh wilayah di Indonesia. “Kami juga sudah mempunyai keputusan untuk tidak memasarkan atau menjual kopi (impor) luar negeri. Jadi (produk yang dijual Margo Redjo) pure kopi Indonesia,” katanya.

Sebagai perusahaan Indonesia, Basuki merasa perlu melaksanakan tanggung jawab moral untuk menyejahterakan warga Indonesia lainnya. Oleh sebab itu, saat ini Margo Redjo memiliki beberapa jaringan mitra petani kopi lokal. Menurut Basuki, sekarang Margo Redjo juga sudah tidak melakukan ekspor dan hanya berfokus pada pasar domestik, terutama Semarang dan daerah sekitarnya.

Saat ini Mergo Redjo masih menjalankan aktivitas penyangraian. Mesin yang dipakainya yakni mesin merek Henneman yang dibeli pada 1920 dan mesin modifikasi atau custom yang dibuat pada 2019.

Menurut Basuki, industri kopi dan bisnis turunannya mulai menuai angin segar pascarilisnya film Filosofi Kopi pada 2015. “Ini perlu saya kemukakan, yang menyebabkan terjadinya perubahan di masyarakat, terutama masyarakat penikmat kopi, harus diakui itu adalah film Filosofi Kopi. Sejak saat itu, pandangan masyarakat terhadap kopi berubah, terutama kalangan usia muda,” kata dia.

Pada September 2020, ketika Indonesia dan dunia masih dilanda pandemi Covid-19, Basuki memutuskan membuka kedai kopi kecil di pelataran kediaman keluarganya dan juga lokasi pabrik Mergo Redjo di Jalan Wotgandul Barat Nomor 12 dan 14. Basuki mengaku terdorong untuk membuka kedai atas usulan temannya. “Waktu itu ya dicoba saja. Karena masih Covid juga, jadi belum begitu terasa perkembangannya,” ucapnya.

Kendati demikian, kedai kopi Margo Redjo, yang saat ini memiliki tujuh pegawai, tetap beroperasi hingga kini. Masyarakat bisa berkunjung dari Senin hingga Sabtu pukul 09.00-17.00 WIB. Menurut Basuki, kedainya sudah dikunjungi oleh warga dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Sumatra dan Kalimantan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement