Senin 19 Feb 2024 17:29 WIB

Bahaya Tersembunyi Junk Food untuk Tubuh dan Otak

Junk food memiliki kandungan kalori tinggi, namun rendah nutrisi.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Junk food (Ilustrasi). Mengonsumsi junk food, kebutuhan kalori harian seseorang terpenuhi hanya dalam satu kali makan, tetapi ia akan segera merasa lapar setelah makan.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan cepat saji atau junk food menyimpan bahaya tersembunyi bagi tubuh dan otak. Profesor di Radboud University di Belanda, Esther Aarts, menyarankan para penggemar makanan cepat saji di seluruh dunia meningkatkan kewaspadaan.

Dikutip dari laman Knowridge, Senin (19/2/2024), Aarts menggagas penelitian terkait dampak dari mengonsumsi junk food bagi tubuh dan otak. Selain menyebabkan penambahan berat badan, penelitian Aarts menunjukkan efek buruk lainnya.

Baca Juga

Konsumsi berlebihan makanan cepat saji terbukti dapat menyebabkan peradangan otak. Berdasarkan proyek studi yang berlanjut sampai Oktober 2025 itu, junk food juga disebut memicu "spiral obesitas" yang membuat orang terjebak dalam pola makan yang tidak sehat.

Penelitian Aarts dan timnya menyoroti adanya sebuah siklus. Semakin banyak makanan cepat saji yang dikonsumsi, semakin kecil kecenderungan seseorang untuk menyiapkan atau mencari pilihan makanan yang lebih sehat karena peradangan otak.

Makanan yang disebut makanan cepat saji ditandai dengan kandungan kalori tinggi namun rendah nutrisi. Ciri lainnya, hidangan tersebut kaya akan gula rafinasi dan lemak tidak sehat sekaligus kurang kandungan vitamin, mineral, dan serat esensial.  

Aarts menunjukkan bahwa pola makan seperti itu dapat memenuhi kebutuhan kalori harian seseorang hanya dalam satu kali makan, dan akan segera merasa lapar setelah makan. Peradangan kronis akibat peningkatan lemak perut dapat mengubah proses otak yang berkaitan dengan kesenangan, kepuasan, dan motivasi, sehingga lebih sulit untuk memilih pilihan makanan yang lebih sehat.

Lewat studinya, Aarts hendak menawarkan solusi baru untuk memerangi obesitas yang kasusnya diprediksi melonjak pada 2035. Dia juga menyoroti risiko kesehatan mental yang terkait dengan obesitas, termasuk kaitannya dengan depresi dan penyakit Alzheimer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement