REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua yang memiliki anak perempuan kerap didorong untuk melakukan sunat/khitan perempuan. Tindakan itu juga dikenal dengan istilah perlukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP) atau female genital mutilation/cutting (FGM/C).
Dari segi medis, ada pendapat yang menyebut sunat perempuan kurang dianjurkan. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) edisi terbaru terbitan Kementerian Kesehatan RI mencantumkan keterangan bahwa sunat perempuan tidak mempunyai manfaat terhadap kesehatan dan berisiko bagi kesehatan bayi saat ini, maupun di masa yang akan datang.
Praktik itu melibatkan pengambilan dan pencederaan jaringan genital perempuan yang sehat dan normal, sehingga mengganggu fungsi alami tubuh perempuan. Ada risiko komplikasi yang memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan perempuan secara fisik, mental, dan seksual sepanjang hidup.
Melalui situs resminya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengaitkan sunat perempuan atau FGM dengan masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang. WHO menentang segala bentuk FGM dan mendesak penyedia layanan kesehatan untuk tidak melakukan FGM meski pasien atau keluarga pasien memintanya.
"FGM adalah praktik yang berbahaya dan tidak dapat diterima dari sudut pandang hak asasi manusia dan kesehatan masyarakat, terlepas dari siapa yang melakukannya," kata WHO, dikutip pada Rabu (20/12/2023).
Risiko kesehatan jangka pendek dari FGM termasuk rasa nyeri yang parah, pendarahan berlebihan, pembengkakan jaringan genital, serta infeksi. Bisa juga terjadi masalah buang air kecil, gangguan penyembuhan luka, hingga kematian (biasanya disebabkan oleh infeksi atau pendarahan).
Sementara, risiko kesehatan jangka panjang bisa berupa nyeri akibat kerusakan jaringan dan jaringan parut yang dapat mengakibatkan ujung saraf terjebak atau tidak terlindungi. Begitu juga infeksi genital kronis, infeksi saluran reproduksi kronis, dan infeksi saluran kemih.
Perempuan yang saat bayinya dikhitan juga disebut berpotensi....