REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah faktor dapat menghalangi para penyintas untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan sulit memahami seberapa umum hal itu terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah istilah untuk perilaku yang dirancang untuk memanipulasi, mengontrol, meremehkan, atau menyakiti. “KDRT dapat menyerang kelompok mana pun, terlepas dari komposisi demografis mereka. Hal ini dapat berdampak pada orang-orang dari semua latar belakang ras, identitas gender, usia, status sosial ekonomi, dan orientasi seksual,” kata konselor komunitas Michelle Giordano.
Di Amerika Serikat (AS), KDRT memengaruhi sekitar 10 juta orang tiap tahunnya. Para ahli percaya statistik menunjukkan lebih rendah dari angka sebenarnya karena berbagai hambatan sistemik, hukum, sosial, dan emosional dalam pelaporan.
“Semua jenis kekerasan dalam rumah tangga sangat jarang dilaporkan. Oleh karena itu, sulit untuk menentukan dengan tepat seberapa luas penyebarannya,” ujarnya.
Menurut Giordano, mereka yang tidak melapor memiliki sejumlah alasan, di antaranya:
-Ketakutan akan apa yang mungkin dilakukan pelaku jika mereka melaporkannya
-Kurangnya kesadaran akan sumber daya yang tersedia untuk dukungan
-Perasaan malu atau terhina tentang apa yang terjadi
-Kurangnya akses ke telepon, komputer, atau cara lain untuk menghubungi bantuan
-Ketergantungan finansial pada pelaku
-Kurangnya kepercayaan terhadap sistem peradilan pidana
“Ini menjadi rumit ketika seseorang masih ingin atau merasa berkewajiban untuk melindungi pelaku kekerasan yang merupakan orang yang dicintainya,” ujar psikoterapis Courtney Glashow.
Para penyintas yang berasal dari kelompok marginal mungkin enggan untuk melapor. Imigran tidak berdokumen, misalnya, tidak boleh melaporkan ke polisi karena takut hal ini akan mengakibatkan mereka dideportasi.
“Selain itu, beberapa laki-laki mungkin tidak melaporkan KDRT karena mereka berasal dari budaya atau keyakinan yang mempermalukan laki-laki karena telah dianiaya,” kata pekerja sosial klinis berlisensi Kaytee Gillis.
“Meskipun kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim dapat menimpa laki-laki dan perempuan, sering kali perempuan menjadi sasaran kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang serius,” kata Giordano.
Gillis mengatakan, orang dewasa yang menggunakan kekerasan terhadap pasangannya mungkin juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan pelecehan dan mengabaikan anak mereka sendiri.
https://www.healthline.com/health/how-common-is-domestic-violence#numbers