Jumat 15 Sep 2023 22:25 WIB

Olahraga Setiap Hari Ternyata tidak Disarankan, Ini Kata Peneliti

Olahraga yang dilakukan setiap hari justru tidak berdampak positif.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Olahraga atau aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari tidak selalu berdampak positif.
Foto: www.freepik.com
Olahraga atau aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari tidak selalu berdampak positif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Olahraga sering direkomendasikan sebagai obat mujarab untuk mengatasi masalah pikiran dan tubuh. Tidak sedikit orang yang mengeluarkan uang setiap bulannya untuk keanggotaan gym demi menjaga kebugaran tubuh.

Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang dilakukan setiap hari tidak selalu berdampak positif. Para ilmuwan melaporkan bahwa pekerjaan yang membutuhkan aktivitas fisik tingkat sedang atau tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan kognitif.

Baca Juga

Para peneliti dari Norwegian National Centre of Aging and Health, Columbia University's Mailman School of Public Health, dan Butler Columbia Aging Center berkolaborasi dalam penelitian ini. Penelitian ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengembangkan strategi baru bagi individu dalam pekerjaan yang menuntut fisik untuk membantu mencegah gangguan kognitif.

"Sangatlah penting untuk memahami bagaimana tingkat aktivitas fisik di tempat kerja berkaitan dengan gangguan kognitif dan demensia. Penelitian kami juga menyoroti apa yang disebut sebagai paradoks aktivitas fisik dan bagaimana aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan dapat menyebabkan hasil kognitif yang lebih buruk,” kata Vegard Skirbekk, profesor Populasi dan Kesehatan Keluarga di Columbia Public Health.

Hingga saat ini, penelitian terdahulu yang relevan yang berfokus pada aktivitas fisik di tempat kerja dan demensia masih sangat terbatas. Proyek-proyek semacam itu biasanya menganalisis pekerjaan pada satu titik waktu selama karier seseorang, dalam sebagian besar kasus mendekati usia pensiun, dan dengan data yang dikumpulkan dengan cara yang dilaporkan sendiri.

"Temuan kami memperluas temuan dari penelitian sebelumnya dengan memasukkan perspektif perjalanan hidup ke dalam penelitian tentang aktivitas fisik pekerjaan dan gangguan kognitif," tambah Prof Skirbekk.

"Sementara penelitian sebelumnya juga hanya berfokus pada pengukuran tunggal pekerjaan, kami memasukkan lintasan pekerjaan dari usia 33-65 tahun untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang sejarah pekerjaan para peserta dan bagaimana hal ini terkait dengan risiko gangguan kognitif di masa dewasa,” tambah dia seperti dilansir Study Finds, Jumat (15/9/2023).

Para penulis studi menjelaskan bahwa periode awal praklinis demensia dapat dimulai hingga dua dekade lebih awal dari munculnya gejala. Dengan demikian, mereka berteori bahwa memperhitungkan dan mempelajari pekerjaan yang berbeda selama masa kerja, dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang hubungan yang kompleks dan bernuansa yang menghubungkan pekerjaan atau karier seseorang dengan kesehatan kognitif.

Melalui salah satu studi demensia berbasis populasi terbesar yang pernah ada, tim peneliti menilai hubungan antara aktivitas fisik kerja pada usia 33-65 tahun dengan demensia berikutnya dan risiko gangguan kognitif pada usia 70+. Sebanyak 7.005 orang diikutsertakan; 902 orang didiagnosis secara klinis menderita demensia, sementara 2.407 orang didiagnosis dengan gangguan kognitif ringan.

Para peneliti menganalisis hubungan antara lintasan aktivitas fisik di masa dewasa (usia 33-65 tahun) dengan risiko demensia/gangguan kognitif di usia tua (70+). Setengah dari subjek yang dilibatkan adalah perempuan.

Risiko terkena demensia dan gangguan kognitif ringan di antara subjek berusia 70 tahun atau lebih tinggi mencapai 15,5 persen bagi mereka yang memiliki pekerjaan yang menuntut fisik selama masa kerja. Namun, risiko yang sama hanya sembilan persen di antara mereka yang memiliki pekerjaan dengan tuntutan fisik yang rendah.

"Hasil penelitian kami secara khusus menggarisbawahi perlunya menindaklanjuti individu dengan pekerjaan dan aktivitas fisik yang tinggi seumur hidup karena mereka tampaknya memiliki risiko lebih besar terkena demensia," Prof Skirbekk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement