REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eni Widiyanti, mengatakan kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga. Hal ini disampaikan Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
"Laporan yang masuk ke Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), menunjukkan tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga, yakni 73,1 persen," kata Eni Widiyanti dalam talkshow bertajuk "Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT", di Jakarta, Selasa (12/9/2023).
Pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami dengan persentase 56,3 persen. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami perempuan penyebabnya beragam, ada yang karena suaminya cemburu, suami mabuk, masalah pekerjaan, himpitan pekerjaan yang dialami suami atau istri, atau pemicu yang lain.
"Kekerasan jenis apapun dan berbentuk apapun, berdampak signifikan terhadap kesehatan maupun kesejahteraan perempuan yang menjadi korban," kata Eni.
Dari data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, menunjukkan satu dari empat perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan selama hidupnya. Kemudian, satu dari sembilan perempuan atau 11,3 persen pernah mengalami kekerasan fisik. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami atau pasangan yang terbanyak dialami perempuan adalah pembatasan perilaku, jumlahnya 30,9 persen.
"Jadi, (KDRT) masih sangat besar. Kondisi ini selaras dengan persepsi dan sikap perempuan yang disurvei ya tentunya, tapi mewakili populasi perempuan Indonesia, yang menyatakan bahwa setuju terhadap pernyataan istri yang baik memang harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri," kata Eni Widiyanti.