Senin 28 Aug 2023 19:22 WIB

Anak tak Sengaja Lihat Konten LGBT, Ini Respons Terbaik Orang Tua Menurut Psikiater

Unsur LGBT terkadang secara tersamar ada di bukum lagu, film, atau tayangan video.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Salah satu adegan kartun yang diduga bermuatan LGBT (ilustrasi). Jika anak tak sengaja melihat konten LGBT, orang tua sebaiknya bersikap responsif, bukan reaktif.
Foto: Moonbug
Salah satu adegan kartun yang diduga bermuatan LGBT (ilustrasi). Jika anak tak sengaja melihat konten LGBT, orang tua sebaiknya bersikap responsif, bukan reaktif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konten yang diakses anak tanpa disadari mungkin memuat unsur terkait lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Tidak menutup kemungkinan, elemen LGBT termuat secara tersamar di buku, lagu, tayangan video, atau film yang disimak anak.

Apa yang sebaiknya dilakukan orang tua jika mendapati hal demikian? Psikiater dari Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, dr Lahargo Kembaren SpKJ, menyarankan agar orang tua bersikap responsif, bukan menunjukkan sikap reaktif.

Baca Juga

"Penting banget sikap orang tua tidak reaktif, tetapi responsif. Kalau reaktif, langsung menutup buku atau melarang anak menyimak. Itu sering kali malah membuat anak semakin bertanya-tanya dan penasaran," kata Lahargo saat dihubungi Republika.co.id, Senin (28/8/2023).

Psikiater yang juga berpraktik di RS Siloam Bogor itu mengatakan, jika tidak ada penjelasan yang baik dari orang tua, dikhawatirkan anak mencari penjelasan dari pihak lain. Anak malah berpotensi mendapat informasi yang mengarahkan ke hal yang tidak diharapkan.

"Orang tua memang harus realistis, bahwa di era sekarang tidak bisa membendung semua informasi, tapi kita bisa membentengi anak dengan rambu-rambu, nilai, dan norma, agar anak tidak terpengaruh gerakan LGBT atau hal lain yang dikhawatirkan," ujar Lahargo.

Dia menyampaikan, pemahaman mengenai seksualitas sebaiknya diajarkan sedini mungkin kepada anak. Sebab, seksualitas sebenarnya merupakan suatu hal yang alami dalam kehidupan manusia. Namun, pendidikan seksual harus disesuaikan di tiap tingkatan umur.

Dicontohkan Lahargo, tidak mungkin orang tua langsung berkata pada anak balita bahwa LGBT itu hal yang dilarang. Tentunya, itu tidak akan dipahami dengan baik. Pada usia batita atau balita, anak cukup diajarkan mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan.

Lantas, anak usia prasekolah diajarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki alat reproduksi berbeda, serta bagaimana menjaganya. Jika anak yang sudah memakai ponsel bertanya, mengapa ada emoticon WhatsApp ada laki-laki dengan laki-laki, orang tua bisa menyampaikan secara halus, bisa saja mereka berteman. Artinya, tidak harus langsung memberi label.

Di usia remaja, di mana anak sudah mulai mengalami perubahan hormonal, orang tua bisa mengenalkan pubertas dan berbagai perubahan seksual sekunder yang akan dialami. Orang tua perlu banyak berdiskusi dengan anak, karena di era modern ini, Lahargo menyebut anak memiliki banyak sumber informasi dan referensi.

Saat memberikan pemahaman kepada anak tentang LGBT, orang tua pun disarankan tahu tentang empat domain seksual. Dijelaskan Lahargo, ada domain identifikasi seksual, yakni manusia dilahirkan laki-laki dan perempuan, tidak ada di antaranya.

Kedua, identifikasi gender, yakni bagaimana individu punya sisi feminin dan maskulin. Sisi itu bisa seimbang, atau dominan di salah satunya. Bisa jadi ada perempuan yang tomboy dan anak laki-laki yang sikapnya lembut, namun bukan berarti orientasi seksual mereka nantinya akan berbeda.

Domain ketiga, orientasi seksual, yaitu hasrat seksual yang dimiliki. Domain keempat, yakni perilaku seksual, yang dianggap Lahargo paling penting, yakni bagaimana seseorang mengekspresikan seksualitasnya.

Orang tua perlu memberi pemahaman kepada anak bahwa jika muncul rasa suka kepada lawan jenis, itu hal yang alamiah. Tapi, ada cara tepat mengekspresikannya, termasuk melatih agar energi seksual sebelum menikah disalurkan ke hal lain yang positif.

"Anak perlu diajari agar tidak jatuh ke perilaku seksual yang menimbulkan konsekuensi negatif, seperti mengidap penyakit kelamin, atau menjadi korban kekerasan seksual," kata Lahargo.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement