REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu kelompok yang lebih berisiko dari paparan polusi udara adalah kelompok lansia. Sebab, reaksi stres oksidatif pada lansia jauh lebih berisiko dibanding orang yang lebih muda.
Peneliti Utama Health Collaborative Center (HCC) Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, mengatakan, tahapan awal saat orang terkena polusi dan tidak mampu mengatasi dampaknya adalah stres oksidatif.
Tubuh akan memastikan radikal bebas diserang. Ini berarti polutan yang masuk akan dilawan sedemikian rupa oleh tubuh sehingga menimbulkan reaksi radang.
"Kalau tubuh sudah bereaksi berlebihan akan capek. Kebayang kan para lansia yang sudah pasti punya penyakit komorbid berarti organ-organ sistem imun sebagian besar sudah dipakai untuk menjaga penyakit yang ada dalam tubuh tidak memburuk. Ini ditambah lagi dengan polusi udara," kata Ray di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (24/8/2023).
Menurut beberapa studi, lansia yang terkena paparan logam berat, lebih mudah terkena penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Nantinya, ini akan menimbulkan risiko yang berlipat ganda.
"Tubuh lansia lebih tidak mampu dengan stres oksidatif. Lebih mudah menderita penyakit yang lebih berat. Tentunya, biaya pengobatannya jauh lebih besar yang artinya secara ekonomi tidak menguntungkan," ujarnya.
Oleh karena itu, Ray menyarankan untuk mengonsumsi antioksidan yang merupakan senjata untuk melakukan radikal bebas supaya tidak terjadi stres oksidatif. Antioksidan bisa didapat dari vitamin dan mineral serta serat yang diperoleh dari buah dan sayuran.
Bisa juga mengonsumsi sinbiotik, yaitu kombinasi antara prebiotik dan probiotik. Ray menjelaskan itu sangat bagus agar bakteri-bakteri baik yang ada di sistem pencernaan mendapat asupan makanan.
"Kalau kita berikan asupan serat, prebiotik dan probiotik akan lebih kuat. Mereka mampu berkoloni dan mengaktifkan sistem daya tahan tubuh. Kalau sudah seperti itu, stres oksidatif bisa ditekan," ucapnya.