Jumat 07 Jul 2023 04:04 WIB

Punya Aib di Masa Lalu, Perlukah Jujur ke Calon Pasangan?

Umat Islam diajarkan untuk tidak menyebarkan aib orang lain maupun aib sendiri.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Seseorang bertobat kepada Allah SWT atas aibnya di masa lalu (ilustrasi).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Seseorang bertobat kepada Allah SWT atas aibnya di masa lalu (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bergunjing dan membuka aib orang lain dilarang oleh Allah SWT. Dalam Alquran Surah al-Hujurat ayat 12 disebutkan:

“Dan janganlah kalian saling menggunjing. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat: 12).

Baca Juga

Dari ayat di atas, orang yang menggibah atau membuka aib orang lain diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya tersebut. Pertanyaannya kemudian, bagaimana apabila yang dibongkar adalah aib sendiri? Apakah membuka aib sendiri termasuk perbuatan dosa?

Dikutip dari laman Majelis Ulama Indonesia, Kamis (6/7/2023), disebutkan bahwa Allah SWT senantiasa menutupi kesalahan hambanya. Setiap hamba diberi kesempatan bertobat dari kesalahan yang dilakukan pada pagi hari, siang hari, dan malam hari.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Setiap umatku akan diampuni, kecuali mereka yang terang-terangan melakukan dosa. Meskipun begitu, mereka yang terang-terangan berdosa di malam hari tetap ditutupi aib dan dosanya hingga pagi hari. Namun ada yang justru menceritakan aib dan dosanya, dan berkata ‘Tadi malam aku melakukan ini dan itu. Allah menutupinya namun dirinya sendiri yang membuka aibnya itu”.

Hadist tersebut memberikan pelajaran kepada umat agar tidak menyebar kesalahan orang lain karena Allah SWT pun menutupi aib dari dosa itu. Termasuk dalam kaitan ini adalah agar kita tidak menyebar sendiri aib dan dosa yang telah kita lakukan, karena Allah SWT telah menutupinya untuk memberikan hikmah di balik dosa itu.

Syekh Syauqiy 'Allam, seorang mufti Mesir, mengutip pendapat imam Bukhari dalam al Adabu al Mufrid bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Bagi pengumbar dan penyebar cerita-cerita buruk, sama besar dosanya”.

Atha’ bin Abi Ribah juga berkata, “Siapa saja yang menyebar luaskan cerita-cerita buruk dan keji, maka dialah yang pertama kali memikul dosa pencetus awal cerita buruk ini, meskipun cerita buruk itu memang betul terjadi”.

Begitu pula, bagi calon pasangan yang hendak menikah. Ustaz Rosyid Abu Rosyidah dalam Bimbingan Islam, mengatakan bahwa kedua belah pihak tidak perlu menceritakan masa lalu atau aib yang kurang begitu memengaruhi tujuan pernikahan. Namun jika aib itu berpengaruh pada pernikahan semisal kondisi mandul, maka harus disampaikan ke calon pasangan.

Para ulama menjelaskan, di antara tujuan menikah adalah untuk kenikmatan (mut’ah), pelayanan (khidmah), dan injab (tidak mandul). Karena itu, pasangan yang menyembunyikan kemandulannya telah sengaja menghilangkan salah satu tujuan menikah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement