REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia tak luput dari kebohongan-kebohongan kecil dalam hidupnya. Terkadang, kita tidak berpikir dua kali untuk berbohong, bahkan tidak ada penyesalan sedikit pun ketika melakukannya.
Ada juga istilah bohong putih atau bohong yang dilakukan demi kebaikan. Apakah bohong jenis ini diperbolehkan dalam Islam?
Melansir dari laman Saudi Gazette, Islam menekankan bagi umatnya untuk selalu mengatakan kebenaran. Sudah banyak literatur dalam Islam yang menunjukkan betapa Allah SWT dan Rasulullah SAW membenci kebohongan.
Abdullah ibn Mas'ud mengatakan, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kamu harus jujur. Sesungguhnya kejujuran itu menuju kepada kebaikan dan ketakwaan, dan itu menuju ke surga. Seorang pria terus menjadi jujur dan mendorong kejujuran sampai dia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan waspadalah terhadap kepalsuan. Sesungguhnya kepalsuan itu membawa kepada keburukan dan keburukan itu mengantarkan ke neraka. Seorang pria terus berbohong dan mendorong kebohongan sampai dia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta".
Tentu tidak ada umat Islam yang ingin dicap pendusta oleh Allah SWT bukan? Banyak orang terjebak dalam pemikiran bahwa bohong putih demi kebaikan dan hal yang diperbolehkan, lantas apakah benar demikian?
Sebuah literatur menceritakan tentang Nabi Ibrahim AS yang usianya mencapai hingga lebih dari 100 tahun hanya melakukan tiga kali kebohongan dalam hidupnya. Itu pun dalam setiap kasusnya, ada alasan yang sangat spesifik serta alasan yang benar dan mulia.
Bagaimana dengan kita? Sudah berapa kali berbohong? Apakah lebih dari tiga kali? Bagaimana bisa kita menganggap diri kita sebagai seorang mukmin yang baik dan masih berbohong, bahkan untuk hal-hal yang tidak penting?
Kita tidak punya alasan untuk berbohong. Tidak ada yang namanya bohong putih atau merah atau biru, kebohongan adalah kebohongan.
"Kebohongan" Nabi Ibrahim dilakukannya saat ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa berhala yang mereka sembah sebenarnya adalah batu mati, tidak dapat membawa manfaat atau bahaya. Nabi Ibrahim berencana untuk mengambil kesempatan ketika semua penduduk desa sedang berkumpul di satu tempat untuk upacara.
Saat orang-orang sedang mempersiapkan upacara, Nabi Ibrahim menyelinap pergi dari orang-orang dan dia berkata bahwa dia sakit. Padahal ia pergi ke tempat berhala itu lalu menghancurkannya, dan tidak ada orang yang melihat ketika Nabi Ibrahim melakukan itu.
Saat mengatakan tentang dirinya yang sakit, ini lebih seperti kalimat kiasan dari Nabi Ibrahim yang memang benar merasa sakit dengan kepercayaan orang-orang itu. Dijelaskan dalam Alquran Surah As-Saffat ayat 69, "Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat".
Setelah Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala tersebut, dia membiarkan berhala terbesar tetap utuh dan mengalungkan kapak di leher berhala tersebut. Ketika orang-orang melihat kehancuran berhala-berhala itu dan menanyainya, Nabi Ibrahim menjawab seperti yang dituliskan dalam Alquran Surat Al-Anbiya ayat 63, "Dan Ibrahim menjawab, sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara’" Dan dalam hal tersebut, kalimat Nabi Ibrahim itu lebih seperti sarkasme daripada kebohongan.
Berikutnya, ketika Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah, bermigrasi ke Palestina. Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh seorang tiran yang diketahui akan mengambil seorang wanita jika mereka tertarik, dan membunuh suaminya.
Nabi Ibrahim mengatakan bahwa Sarah adalah saudara perempuannya. Yang penting untuk dicatat adalah Nabi Ibrahim tidak peduli dengan nyawanya sendiri.
Saat itu, hanya dua orang di muka bumi yang percaya pada keesaan Allah yakni Nabi Ibrahim dan Sarah, dan jika dia dibunuh, tidak ada harapan untuk memiliki keturunan yang akan menyembah Allah. Jadi, Nabi Ibrahim tidak terbunuh, dan Allah Maha Besar melindungi Sarah dari celaka orang tiran itu.