REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sering kali informasi mengenai kehidupan artis atau figur publik berseliweran di media sosial (medsos). Sebagian besar kabar tersebut memancing warganet untuk "gatal" berkomentar. Bahkan tidak jarang komentar tersebut bisa mengarah pada sifat tuduhan hingga fitnah, termasuk di akun gosip artis.
Bagaimana Islam memandang hal tersebut? Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang pedoman bermuamalah di media sosial. Hal itu berdasarkan tuntunan agama, agar dalam bermuamalah melalui media sosial dapat berjalan dengan kondusif dan terhindar dari hal-hal yang menjurus pada perbuatan negatif.
Salah satu hukum dan pedoman kegiatan bermuamalah di media sosial yang baik, merujuk pada Fatwa MUI No 24 Tahun 2017, yaitu, dilarang menghasut dan memfitnah di media sosial. Dikutip dari laman MUI, Jumat (2/6/2023), setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk melakukan gibah, fitnah, dan berprasangka buruk.
Dilarang pula namimah (adu domba), penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan ajakan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan. Perihal ini secara tegas dibahas dan dilarang berdasarkan dalil Quran Surah al Hujurat ayat 12.
Dari tujuh pedoman bermedia sosial yang ditetapkan MUI, juga dianjurkan untuk verifikasi kebenaran informasi atau konten yang diterima. Setiap orang yang memperoleh konten atau informasi melalui media sosial baik yang positif maupun negatif, tidak boleh langsung menyebarkannya sebelum diverifikasi dan dilakukan proses tabayun serta dipastikan kemanfaatannya.
Upaya melakukan tabayun juga lebih baik dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait, tidak dilakukan secara terbuka di ranah publik, seperti melalui grup media sosial. Hal itu bisa menyebabkan konten atau informasi yang belum jelas kebenarannya semakin beredar luas ke publik. Dalil anjuran tabayun juga tertuang dalam Alquran Surah al Hujurat ayat 6.
Fatwa MUI juga menekankan untuk memperhatikan isi konten atau informasi sebelum menulis dan disebarkan ke khalayak luas. Pembuatan konten atau informasi yang akan disampaikan ke ranah publik harus berdampak baik bagi penerima dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan (kerusakan atau akibat buruk yang menimpa seseorang atau kelompok).
Kontennya tidak boleh menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi. Jangan tergesa-gesa menyampaikan informasi yang belum teruji validitasnya.
Konten atau informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum harus memenuhi kriteria baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi disampaikan. Dalam bermuamalah dengan sesama, baik dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap Muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu'asyarah bil ma'ruf), persaudaraan (ukhuwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma'ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu an al-munkar).
Konsep bermuamalah yang baik adalah senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran serta kemaksiatan. Selain itu, muamalah juga dapat dijadikan ajang untuk mempererat persaudaraan (ukhuwwah), baik persaudaraan keislaman (ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah).