Jumat 05 May 2023 22:19 WIB

Thalasemia Bisa Pengaruhi Tumbuh Kembang Anak Secara Fisik dan Psikososial

Thalasemia merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dicegah.

Thalasemia merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dicegah (Foto: ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Thalasemia merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dicegah (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa penyakit thalasemia mampu mempengaruhi tumbuh kembang secara fisik maupun psikososial anak dalam berkegiatan sehari-hari. "Thalasemia memang belum bisa disembuhkan, tetapi dapat dicegah sehingga kita harus melakukan skrining kepada golongan berisiko tinggi sebelum menikah," kata Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI Teni Tjitra Sari dalam Konferensi Pers Hari Thalasemia Sedunia 2023 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (5/5/2023).

Teni menuturkan, seiring dengan bertambahnya usia, pasien thalasemia rentan mengalami infeksi seperti Hepatitis C maupun komplikasi akibat penumpukan zat besi dalam tubuh. Kemudian dikarenakan harus menjalani transfusi darah secara terus menerus, dalam banyak kasus pasien thalasemia mengalami perubahan bentuk tubuh seperti muka pucat akibat sel darah mudah hancur, perut yang membuncit hingga gigi yang nampak lebih maju.

Baca Juga

"Kalau perut membuncit berisiko pecah itu tidak, tetapi kalau terjadi benturan bisa pecah ataupun tulang juga semakin menipis, sehingga kalau terjadi infeksi atau patah tulang ini akan sulit untuk disambung lagi," katanya.

Menurut dia, perubahan fisik itu kemudian menyebabkan pasien harus menghadapi masalah psikososial seperti menerima stigma sosial yang dilihat sebagai orang pesakitan. Hal ini berdampak pada munculnya rasa rendah diri, inferior dan tidak percaya akan kemampuan yang dimiliki.

Selain itu, thalasemia juga menyebabkan keluarga merasakan penderita adalah sebuah aib yang membuat malu. Pada situasi ini Teni bercerita banyak pasien memikirkan apakah diri mereka masih bisa untuk bekerja atau menikah.

Pemikiran tersebut akhirnya mendorong munculnya rasa jenuh dan bosan dalam diri pasien untuk melakukan pengobatan rutin seumur hidup. Mirisnya, tren usia pasien thalasemia mulai berubah ke arah usia remaja sehingga lebih rentan stres dan berpotensi berhenti berobat.

"Ini jadi bahan pemikiran mereka dan ini sering terjadi pada anak remaja, jadi anak mulai bosan berobat, jenuh, malas minum obat sehingga komplikasi akan timbul lebih cepat. Keluarga juga malu karena anaknya sakit," katanya.

Hal yang sama juga disampaikanoleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu, yang mengatakan thalasemia merupakan penyakit nomor lima terbesar dari urutan penyakit katastropik menurut data BPJS Kesehatan. Selain mampu membuat sel darah dalam tubuh mudah hancur, thalasemia juga membuat penderitanya tak jarang mengalami perubahan fisik. Hal itu memicu terjadinya diskriminasi serta ejekan kepada pasien ketika menjalani aktivitas sehari-hari.

Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk aktif memutuskan rantai penurunan thalasemia, dengan melakukan skrining kesehatan sebelum menikah untuk mengidentifikasi pembawa sifat atau carrierguna menghindari pernikahan antara sesama pembawa sifat terutama dalam keluarga pada satu keturunan. Di sisi lain, ia meminta sosialisasi terkait penyakit thalasemia terus disebarkan, supaya masyarakat lebih mudah memahami cara pencegahan hingga tatalaksana berobatnya.

"Mari bersama-sama kita berkontribusi dengan peran kita masing-masing untuk sadar, peduli dan sebar luaskan edukasi tentang thalasemia untuk perawatan talasemi yang lebih baik. Penting mengetahui status diri terutama untuk pembawa sifat atau bukan," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement