Kamis 06 Apr 2023 16:29 WIB

Pakar Terangkan Alasan Orang Masih Percaya Dukun Pengganda Uang

Era digital justru memberi kemudahan bagi dukun menjaring korban.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Indira Rezkisari
Proses pembongkaran jenazah yang diduga merupakan korban dari dukun pengganda uang, Tohari alias Slamet (46), di Desa Balun, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (3/4).
Foto: Dok.Bidhumas Polda Jateng
Proses pembongkaran jenazah yang diduga merupakan korban dari dukun pengganda uang, Tohari alias Slamet (46), di Desa Balun, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Sunyoto Usman menduga bahwa ada sebagian kalangan masyarakat yang ingin kaya secara instan, tanpa kerja keras dan kerja cerdas. Pernyataannya menanggapi kasus pembunuhan dukun penggandaan uang di Banjarnegara, Jawa Tengah.

“Dugaan saya, sebagian kalangan masih banyak yang ingin kaya secara instan, tanpa kerja keras dan kerja cerdas,” kata Sunyoto kepada Republika, Rabu (5/4/2023).

Baca Juga

Pada level komunitas, dosen jurusan sosiologi itu menyebut masih banyak yang percaya bahwa ada orang sakti atau punya “ilmu” yang lebih daripada orang kebanyakan. Sunyoto mengatakan, praktik penipuan penggandaan uang ini dilakukan dalam bentuk jaringan, bahkan ada pembagian tugasnya.

Dia menyarankan pihak berwajib melacak jaringan pelaku penipuan tersebut. “Jaringan ini yang harus dilacak, karena akan ada bentuk-bentuk penipuan (lain),” ujar Sunyoto.

Dia menyarankan masyarakat harus meliterasi dirinya tentang perbankan. “Kalau uang itu berseri nomor boleh jadi bandar atau pencucian uang. Kalau tanpa seri nomor berarti uang palsu,” kata dia.

Lantas, apa yang membuat masyarakat masih memercayai dukun? Selama ini, Sunyoto mengatakan, kehebatan dukun disosialisasikan dari generasi ke generasi melalui keyakinan, simbol-simbol, dan perbagai ritual. “Dipelihara dan dilindungi sebagai adat,” ujar dia.

Menurut Sunyoto, perkembangan teknologi informasi bisa menjadi sarana memudahkan pelaku dalam menjaring korban. Tindakan menjaring korban dilakukan dengan sejumlah metode dan partisipasi berbagai kalangan, salah satunya teknologi. Selain itu, kebutuhan sehari-hari dan desakan gaya hidup dapat membuat orang mencari rezeki dari jalan lain.

“Lapangan kerja juga terbatas, kemiskinan dan kesenjangan semakin tinggi. Tidak cukup hanya bansos (bantuan sosial),” kata Sunyoto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement