REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat bepergian dengan pesawat, mungkin Anda pernah mengalami beberapa turbulensi. Bahkan, mungkin ada turbulensi yang terasa cukup intens.
Saat ini, diperkirakan terjadi sekitar 5.500 insiden turbulensi parah setiap tahunnya (yang sebenarnya merupakan persentase yang sangat kecil dari total penerbangan yang menghantam langit). Kapten Laura Einsetler, pilot maskapai komersial dan penulis CaptainLaura.com mengatakan, ada beberapa jenis turbulensi.
Salah satunya adalah turbulensi mekanis, di mana aliran angin terganggu oleh hal-hal seperti gunung atau bangunan. Turbulensi lainnya adalah konveksi yang diasosiasikan dengan tekanan udara yang menyebabkan pemotongan vertikal.
Menurut Federal Aviation Administration (FAA), wind shear adalah ketika angin berubah arah atau kecepatan dalam jarak pendek, baik secara horizontal maupun vertikal. Jenis turbulensi berikutnya adalah clear-air. Dilansir laman Best Life, Rabu (5/4/2023), seperti namanya, clean-air tidak memiliki penyebab yang terlihat dengan mata telanjang, misalnya awan atau badai petir. Pilot sering tidak tahu turbulensi itu datang, jadi mereka tidak bisa memperingatkan penumpang.
Seorang profesor ilmu atmosfer di University of Reading di Inggris Raya (UK), Paul Williams, mengatakan bahwa turbulensi clear-air akan meningkat secara signifikan di seluruh dunia pada 2050 hingga 2080. Dalam sebuah studi yang ditulis bersama oleh Williams yang diterbitkan pada 2019, para peneliti menemukan bahwa alasan perubahan ini adalah perubahan iklim.
“Kami telah mengumpulkan banyak bukti ilmiah sekarang bahwa turbulensi meningkat karena perubahan iklim,” kata Williams kepada Newsweek.
"Bentuk tak kasat mata yang disebut turbulensi clear-air dihasilkan oleh wind shear, yang karena perubahan iklim, sekarang 15 persen lebih kuat dibandingkan tahun 1970-an," ujarnya lagi.
Einsetler setuju bahwa kenaikan suhu berdampak besar pada langit. Dia mengatakan, saat suhu bumi naik, ini memberi jalan bagi perbedaan tekanan di atmosfer yang menyebabkan angin lebih kuat, sistem cuaca yang bergerak lebih besar dan lebih cepat, serta badai yang lebih intens.
“Semakin besar perbedaan di area, semakin besar efek geser di udara,” kara Einsetler.
Chairman dari American Meteorological Society’s Committee on Financial Weather and Climate Risk serta salah satu pendiri dan kepala petugas iklim Demex Group, Stephen Bennett, mengatakan bahwa perubahan ini akan sangat memengaruhi penerbangan transatlantik. “Penerbangan dengan ketinggian tertinggi di atas Atlantik Utara akan menghadapi peningkatan turbulensi parah yang paling signifikan,” kata Bennett kepada laman Insider.
Namun, penumpang pesawat diminta tidak perlu khawatir. Bennett mengatakan, dia yakin teknologi akan dikembangkan untuk mendeteksi turbulensi clear-air dengan lebih baik. Rute pun mungkin akan disesuaikan untuk menghindari area di mana turbulensi sering terjadi.
“Meskipun tampaknya terbang bisa menjadi lebih berbahaya karena perubahan iklim, ternyata tidak sesederhana itu,” ujar Bennett.
Ahli meteorologi dan mahasiswa PhD di University of Reading, Isabel Smith, mengatakan bahwa variasi turbulensi yang parah juga masih cukup langka. “Anda mungkin menghadapi lebih banyak turbulensi di masa depan,” kata Smith.