REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sudah banyak kampanye mengenai Air Susu Ibu (ASI) sebagai asupan terbaik bagi buah hati. Pemerintah juga telah mengatur regulasi terkait hal tersebut.
Seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 128 tentang Kesehatan, dikatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif sejak dilahirkan selama enam bulan, kecuali atas indikasi medis. Bahkan yang menghalangi ASI eksklusif bisa dikenai hukuman penjara.
Sayangnya, di lapangan, masih banyak yang belum optimal menerapkannya. Bahkan menurut Ahli Gizi Masyarakat, Dokter Tan Shot Yen, masih dijumpai perilaku tenaga kesehatan (Nakes) yang menghambat pemberian ASI.
“Saya nggak apa-apa dimusuhin, bahkan dari nakesnya sendiri, ada yang bilang ASI tidak bergizi, tambah sufor (susu formula) saja,” kata dokter Tan, disimak dalam Instagram Live bersama Radio Elshinta, Kamis (26/1/2023).
Padahal, lanjut dokter Tan, studi dari Jepang menyatakan bahwa dari ibu dengan kondisi malnutrisi pun, ASI yang dikeluarkannya tetap baik untuk anak. ASI-nya tidak akan membuat weight faltering, atau suatu kondisi kenaikan berat badan yang tidak cukup pada anak.
“Tubuh ibu digerogoti jadi ASI. Tuhan, Allah itu telah memberi yang terbaik, jadi ASI yang terbaik,” lanjut dokter Tan.
Dokter Tan juga menambahkan bahwa 80 persen otak anak terbentuk sampai usia dua tahun. Bisa dibayangkan apabila di usia ini otak anak yang berfungsi hanya sekitar 20 persen.
Dokter Tan menekankan konsep pentahelix atau multipihak yang terdiri atas unsur pemerintah, akademisi, media, masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah perlu tegas memberi aturan “ya” dan “tidak”. Akademisi dan ahli sebaiknya tidak memihak, karena ada studi yang didanai perusahaan tertentu, bisa menjadi bias.
Peran media juga tidak kalah penting. Karena media kerap mendapatkan iklan, sebaiknya tetap proporsional dan wajar dalam mempublikasikan konten.
Berikutnya masyarakat harus punya nalar, tidak sembarang mengikuti figur publik, utamakan yang punya kredibilitas baik. Terakhir, pelaku usaha diajak bergandengan tangan tanpa mencederai kesehatan anak maupun masyarakat secara keseluruhan.