Ahad 15 Jan 2023 05:40 WIB

Benarkah Vape Lebih Aman Daripada Rokok Konvensional? Ini Penjelasan Dokter Paru

Nikotin dikatakan dapat menyebabkan adiksi.

Rokok elektrik atau vape dan rokok konvensional (ilustrasi).
Foto: Foto : Mardiah
Rokok elektrik atau vape dan rokok konvensional (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Paru Dr dr Erlina Burhan, SpP(K), MSc mengatakan rokok elektrik atau kerap disebut dengan berbagai nama termasuk vape sama-sama mengandung nikotin dan bahan karsinogen lainnya yang menimbulkan dampak buruk pada tubuh, seperti halnya rokok konvensional.

"Perokok vape dan orang sekitarnya tetap terekspos dengan nikotin dan zat kimia bersifat karsinogenik dan ini tentu saja zat-zat ini bisa mengiritasi (saluran napas dan paru) menimbulkan radang, sesak," kata dia, Sabtu (14/1/2023).

Baca Juga

Nikotin dikatakan dapat menyebabkan adiksi, sementara zat lain dalam vape berupa propylene glikol dan gliserin dapat mengiritasi saluran napas dan paru. Bahan-bahan lainnya heavymetals bisa menginflamasi paru, jantung, merusak sel dan bersifat karsinogen, kemudian formaldehide, aldehyde, particulate matter (PM), nitrosamin, serta silikat dengan dampak serupa pada tubuh.

Dia menyebutkan, pada kejadian yang terjadi, ada risiko luka bakar pada pengguna vape akibat baterai litium pada produk itu. Erlina menegaskan, rokok elektrik mengandung bahan toksik seperti rokok konvensional. 

Produk ini, sambungnya, terbukti toksik terhadap saluran napas dan paru sehingga tidak dapat dikatakan aman. Namun, karena kadarnya yang lebih rendah dari rokok konvensional, seringkali membuat orang-orang terperangkap dengan berasumsi produk ini memiliki tingkat toksisitas lebih rendah dan akhirnya sering menggunakannya.

"Kalau sering dihisap, nanti kadarnya akan sama dengan satu batang rokok konvensional," tegas dia.

Dia menyarankan vape tidak digunakan sampai terbukti aman dan tak merekomendasikannya untuk modalitas berhenti rokok. Menurut dia, pengguna rokok elektrik juga berpotensi kecanduan, menjadi pengguna rokok konvensional dan pengguna bahan adiktif lainnya.

"Tidak bisa berhenti merokok itu sudah kecanduan. Berhenti itu untuk seterusnya tidak merokok. Rasa asam di mulut bukan satu-satunya tanda (kecanduan). Dia bisa menjadi gelisah karena tubuhnya merasa kurang nikotin," demikian kata Erlina.

Sebelumnya, pada November lalu, sebuah studi dalam Journal of American Dental Association seperti disiarkan Medical Daily beberapa waktu lalu, menemukan orang yang penggunaan produk vaporizer (vape) atau rokok elektronik berisiko lebih tinggi mengalami kerusakan gigi dan penyakit periodontal.

Para peneliti melakukan studi silang menggunakan catatan pasien dari 13.098 orang yang datang ke klinik sekolah gigi pada 1 Januari 2019 hingga 1 Januari 2022. Kebanyakan dari pasien tidak menggunakan vape (99,3 persen), sementara hanya sedikit (0,69 persen) mengaku menggunakan rokok elektrik. Kemudian, di antara pengguna, 79 persen memiliki risiko yang signifikan terhadap gigi berlubang.

Tim peneliti lalu menghubungkan antara penggunaan vape atau rokok elektrik dan tingkat risiko karies pasien. Mereka menemukan orang yang vaping memiliki risiko lebih tinggi terkena karies gigi.

Karena vaping tampaknya menyebabkan gigi berlubang, pengguna berisiko kehilangan gigi jika tidak ditangani. Beberapa penelitian laboratorium juga menemukan uap dari rokok elektrik dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri jahat.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement