REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belum lama ini, kabar tentang bubarnya rencana pernikahan salah satu pasangan lantaran calon istri menginginkan mahar sertifikat tanah menjadi viral. Dalam unggahannya di media sosial, psikolog keluarga Roslina Verauli mengingatkan bahwa "Sebaik-baiknya mahar adalah yang tak memberatkan, apalagi sampai merusak hubungan."
Menurut psikolog yang akrab disapa Vera ini, tak semua pasangan memiliki penghayatan serupa tentang mahar. Dalam banyak kasus, mahar tak lagi sebatas keinginan dan kesepakatan di antara dua sejoli, melainkan menggambarkan pengaruh dan keterlibatan dua keluarga besar pada pasangan yang hendak menikah.
Karena itu, menurut Vera, tak jarang besaran mahar menjadi bagian dari ajang pamer antarkeluarga besar, bahkan menjadi petunjuk strata sosial keluarga yang hendak dipinang dan meminang. Bahkan, mahar juga dihayati sebagai "nilai" yang ditetapkan atas calon mempelai perempuan, bukti kesungguhan calon mempelai lelaki dalam menginginkan pengantinnya, dan pernikahan berdua, serta tolak ukur dalam menilai kemampuan mempelai pria dalam rumah tangga kelak.
Vera mengingatkan pernikahan bukan tentang pesta mewah dan mahar yang mahal. Jauh lebih penting untuk memahami pernikahan sebagai ikatan di antara dua orang, sebagai suami-istri, sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Pernikahan merupakan akad dengan komitmen tertinggi dalam kehidupan manusia, sebagai suami-istri," ujar Vera.