REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar keamanan dan ketahanan kesehatan Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman meminta pemerintah memperhatikan distribusi obat jenis fentanil di Indonesia. Itu penting untuk mencegah penyalahgunaan narkotika seperti yang terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat.
"Ini salah satu isu penyalahgunaan narkotika akibat kurang tepat dalam pemberian resep dan ini tentunya memerlukan pengawasan," kata Dicky dalam pesan suara yang diterima di Jakarta, Senin (5/12/2022).
Dicky menjelaskan fentanyl merupakan salah satu obat yang biasa digunakan untuk mengurangi rasa nyeri yang hebat pada pasien penderita kanker atau gangguan lain seperti ginjal. Efek samping yang bisa ditimbulkan bisa berpuluh kali lipat lebih kuat dari heroin.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru, fentanil bisa dengan mudah didapat masyarakat karena dibuat dalam bentuk suntikan (injeksi) maupun plester. Hal tersebut membuat fentanil jadi populer dan mudah dipakai.
Hanya saja, hal tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab di pasar gelap dan menjadikannya sebagai salah satu tren penyalahgunaan narkotika. Ditambah dengan rasa penasaran masyarakat yang amat tinggi tanpa diimbangi dengan literasi yang memadai, fentanil dengan cepat menjadi narkoba yang banyak dicari.
Akibatnya, pengguna fentanil yang menkonsumsinya secara berlebihan terkena efek samping seperti euforia berlebihan, gangguan pernapasan hingga kematian karena overdosis.
"Rasa penasaran yang timbul di masyarakat itu karena efek yang menyebabkan ketagihan sebagaimana umumnya narkotika yang lain, itu yang berbahaya karena mereka tidak menyadari ini," ujarnya.
Menurut Dicky, dengan pengawasan edar obat yang masih lemah di Indonesia maka pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pada resep fentanil dengan melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan, hingga pemerintah daerah. Hal itu untuk mencegah potensi buruk yang lebih besar, terutama dengan hadirnya era globalisasi yang mempermudah berbagai obat disalahgunakan oleh pihak-pihak rawan seperti para remaja yang banyak mengisi waktu luang dengan hal negatif atau tidak produktif.
"Selain itu, bukan hanya dari sistem pengawasan atau penegakan hukum, tapi juga literasi pada sekolah, pemuda, masyarakat, yang melibatkan organisasi keagamaan atau kemasyarakatan dan orang tua karena penyalahgunaan ini diawali dengan coba-coba," katanya.