REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Unggahan influencer di media sosial hingga tokoh utama film dan acara televisi telah membuat sebagian kaum hawa mengupayakan penampilan yang terus berubah. Bahkan, sebagian perempuan menganggap mengenakan pakaian berulang adalah hal yang "tabu".
Untuk konten di media sosial atau pergi ke suatu pesta, misalnya, ada yang merasa pemakaian busana yang sama dua kali akan menjatuhkan citranya. Padahal, menurut pakar mode, hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah dan bukan sesuatu yang salah.
Penata gaya Isabelle Landicho menyadari ada stigma yang berkembang di masyarakat, bahwa penting untuk mengenakan pakaian berbeda di kesempatan berlainan. Menurut Landicho, pandangan miring soal pengulangan pakaian adalah kebohongan terbesar akibat kapitalisme.
"Agenda kapitalis telah memengaruhi pola pikir budaya dan masyarakat kita. Itu membuat kita berpikir bahwa tidak pantas memakai busana yang sama lagi dan lagi," ujar Landicho yang berbasis di London, Inggris. Pengarah mode di The Earth Issue itu mengatakan pemicu lainnya yakni paparan TikTok dan budaya selebritas yang tidak sehat.
Dalam survei yang digagas oleh layanan penataan gaya pribadi Stitch Fix pada Juli 2022 terhadap 517 pelanggannya, terungkap bahwa tiga dari lima orang cenderung membeli pakaian baru ketika bosan dengan pakaian tertentu. Sebanyak 44 persen dari orang yang disurvei mengaku kebosanan terhadap satu pakaian muncul setelah enam kali pemakaian.
Dalam kondisi saat ini, di mana dunia menghadapi krisis biaya hidup, perubahan iklim, serta konsumsi berlebihan yang terus-menerus, penting untuk mulai menanggalkan sikap boros tersebut. Langkah pertama untuk melakukannya adalah memahami mengapa kita begitu cepat menyingkirkan pakaian dan membeli yang baru.
Menurut psikolog mode Shakaila Forbes-Bell, pakaian biasanya terbagi dalam tiga kategori penggunaan. Ada identitas berkelanjutan (pakaian yang mencerminkan diri saat ini), identitas transisional (pakaian yang menjembatani antara diri sesungguhnya dan cerminan diri ideal yang diinginkan), serta identitas yang terputus (pakaian yang dirasa tidak lagi mewakili diri).
Dia mengatakan, salah satu alasan utama orang bosan dengan pakaian adalah karena busana itu tidak lagi sesuai dengan identitas saat ini alias aspirasional. Akibatnya, seseorang tidak lagi merasa nyaman mengenakannya. Forbes-Bell juga mengakui cepatnya pergeseran tren yang (secara keliru) menganggap pakaian tertentu sudah ketinggalan zaman, ikut berpengaruh.
Forbes-Bell membagikan kiat agar seseorang berbusana dengan kesadaran lebih. Caranya, batasi berbelanja pakaian hanya saat benar-benar membutuhkan fashion item tertentu, bukan sekadar mengikuti tren. Saat membeli pakaian, pilih yang bisa dikenakan dalam jangka panjang, bukan hanya sekali dua kali.
Sebelum memutuskan untuk membeli pakaian yang baru, periksa lemari terlebih dahulu. Cari tahu busana yang membuat diri merasa paling baik, yang membuat Anda merasa paling percaya diri, dan yang dibutuhkan. Busana yang tidak sesuai dengan kategori itu bisa disumbangkan atau didaur ulang. Forbes-Bell pun menyarankan untuk berkreasi dengan padu-padan busana.
"Saya pikir ketidaksetujuan pengulangan pakaian itu menggelikan. Jika bersemangat tentang pakaian yang dikenakan dan memahami perasaan saat memakainya, gunakan perasaan itu untuk meningkatkan suasana hati. Nikmati kesempatan untuk memakainya lagi dan lagi," kata Forbes-Bell, dikutip dari laman Refinery29, Ahad (30/10/2022).