Sabtu 29 Oct 2022 17:28 WIB

Menjadi Karyawan yang Bisa Mendukung Komunikasi Perusahaan

Karyawan bisa pelajari komunikasi perusahaan.di buku Corporate Corporation.

Karyawan PT Adaro Energy Indonesia berfoto saat menghadiri acara HUT ke-30 PT Adaro Energy Indonesia di Jakarta, Jumat (21/10/2022). Acara HUT ke 30 PT Adaro Energy Indonesia tersebut mengangkat tema Build a Bigger and Greener Adaro, sebagai upaya perkuat komitmen pengembangan ekonomi hijau. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Karyawan PT Adaro Energy Indonesia berfoto saat menghadiri acara HUT ke-30 PT Adaro Energy Indonesia di Jakarta, Jumat (21/10/2022). Acara HUT ke 30 PT Adaro Energy Indonesia tersebut mengangkat tema Build a Bigger and Greener Adaro, sebagai upaya perkuat komitmen pengembangan ekonomi hijau. Republika/Thoudy Badai

Oleh Priyantono Oemar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah perjalanan The Heritage Journey ke Yogyakarta pada 2010, saya berkesempatan berbincang banyak dengan Prof Oetarjo Diran. Jauh sebelumnya, saya hanya bertemu untuk urusan liputan tentang pesawat produksi IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia).

Oetarjo pernah menjadi wakil direktur IPTN, tapi setelah "pensiun" dari IPTN cukup lama tak terlibat di IPTN. Hingga akhirnya ia diajak kembali mengurus produksi pesawat N250. Di dekade 1990-an itu, setiap bertemu Oetarjo ya urusannya pesawat.

Baru di Yogyakarta inilah saya bisa berbincang banyak dengannya. Ia mulai bercerita soal asal mula BJ Habibie mengajak kembali mengurus pesawat di IPTN. "Saya bilang ke Pak Habibie mau pikir-pikir dulu, karena ini pasti akan menyita banyak waktu. Saya harus bicara dengan istri saya dulu," ujar Oetarjo tentang tawaran Habibie untuk pekerjaan N250.

Dengan mengutarakan alasan "harus membicarakannya terlebih dulu dengan isitri" sebenarnya ia ingin menolak halus, tapi akhirnya saat itu juga ia harus menyatakan bersedia menerima tawaran juniornya itu. Oetarjo masuk ITB pada 1952 tapi hanya satu semester karena dia memilih beasiswa pemerintah untuk kuliah di Belanda. Sedangkan Habibie masuk ITB pada 1954, dan juga hanya sebentar karena ia memilih beasiswa kuliah di Jerman.

Mengapa Oetarjo harus menerima tawaran Habibie saat itu juga? Habibie sudah berbicara dengan istri Oetarjo, dan menyatakan istri Oetarjo sudah mengizinkan, sehingga Oetarjo tak bisa lagi berdalih meminta pertimbangan dari sang istri terlebih dulu.

Lalu Oetarjo memulai proyek N250. Sehari-hari ia yang bekerja, Habibie menerima laporannya dan tentu saja yang kemudian mendapat nama adalah Habibie. "You harus siap, dalam kerja tim, yang akan mendapat nama adalah yang mengetuai tim itu," ujar Oetarjo memberi nasihat.

Dari sinilah, Oetarjo kemudian beralih cerita ke perlunya bisa menerima dan melakukan pekerjaan karena panggilan jiwa, sekalipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan jurusan sewaktu kuliah. Jiwa Oetarjo memang seperti jiwa Habibie, jiwa kedirgantaraan. Tentu saja ini sesuai dengan ilmu yang ia tekuni saat kuliah dulu.

Dengan contoh yang berbeda, Riniwaty Makmur menampilkan cerita seperti cerita Oetarjo Diran itu di buku Corporate Communication yang diterbitkan Penerbit Simbiosa, Bandung. Riniwaty adalah praktisi komunikasi perusahaan yang sudah malang-melintang di perusahaan multinasional. Ia meraih gelar doktor komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, almamaernya dulu semasa mengambil S1 Jurusan Ilmu Jurnalistik.

photo
Banyaknya praktisi yang membahas kasus menjadi kekuatan buku Corporate Comunication ini. - (priyantono oemar/republika)
 

Di halaman 221-230 Riniwaty menampilkan cerita keberhasilan komunikasi internal perusahaan yang dilakukan oleh PT ISS Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang layanan kebersihan. Perusahaan dengan 50 ribu karyawan ini dipimpin mantan direktur Garuda Indonesia, Elisa Lumbantoruan, sejak 2015.

Elisa mendapati kenyataan bahwa yang mendaftar ke ISS Indonesia mayoritas adalah lulusan SMK. Mereka menjadikan pekerjaan layanan kebersihan sebagai pilihan terakhir setelah susah mendapat pekerjaan yang sesuai jurusan studi setelah lulus sekolah.

ISS merupakan perusahaan yang didirikan di Denmark. Budaya perusahaan pun disesuaikan dengan budaya Indonesia. Alih-alih menyebut team work, ISS Indonesia lebih senang menggunakan istilah gotong royong. “Gotong royong tidak memerlukan prinsip-prinsip manajemen seperti halnya team work, tetapi hasil kerja gotong royong bisa jauh lebih baik daripada team work,” ujar Elisa.

Elisa benar, orang yang sudah terbiasa dengan gotong royong tanpa perlu intsruksi sudah bisa menempatkan diri untuk mengerjakan bagiannya. Sudah secara otomatis tahu harus melakukan sesuatu sesuai kemampuan yang ia miliki. Masing-masing bisa memaksimalkan peran di dalam gotong royong itu.

Tapi sebelum sampai di titik ini, perusahaan tentu saja perlu mendorong munculnya semangat mengenai pemahaman diri agar mereka tidak bekerja karena terpaksa. Ini seperti ketika memilih jenis kerja yang akan dilamar, terpaksa memilih karena sudah tak ada pilihan lagi, daripada menganggur. Itulah yang melamar ke ISS Indonesia. Lalu dimunculkanlah semangat “Saya bangga sebagai orang Indonesia” lalu mengerucut “Saya bangga sebagai cleaner”. Memanfaatkan media sosial, karyawan yang bisa dijadikan rontoh ditampilkan ceritanya, sehingga bisa menyebar ke karyawan lain.

Dalam hal ini, ISS Indonesia mengadopsi konsep IKIGAI dari Jepang, sehingga setiap karyawan memiliki semangat bekerja karena panggilan jiwa. Jika di Jawa ada konsep raos gesang. Konsep dari Ki Ageng Suryomentaram ini menuntun kita untuk bisa menyadari keberadaan diri kita, sehingga di mana pun bisa memaksimalkan peran. Memaksimalkan peran, tentu saja untuk menyukseskan komunikasi perusahaan.

Tapi, dalam kasus tertentu, memaksimalkan peran masing-masing tidak bisa dilakukan dengan cara sendiri-sendiri tanpa koordinasi, seperti halnya kasus lain yang ditampilkan Riniwaty. Membaca kasus di halaman ini, saya teringat kasus di Kalimantan Barat. Perusahaan perkebunan sawit merekrut warga lokal untuk ditempatkan di bagian komunikasi eksternal.

Tetapi perusahaan masih abai melakukan pengembangan komunitas secara maksimal. Hanya setengah-setengah. Begitu ada ketidakpuasaan masyarakat sekitar perkebunan, pegawai lokal di bagian komunikasi eksteral itulah yang disuruh menyelesaikan dengan dalih tentu bisa segera menyelesaikan kasus karena ada sentimen kedekatan sosial dan budaya.

Tetapi karena tak ada dukungan maksimal dari manajemen, pegawai lokal itu memilih mengundurkan diri daripada tiap ada kasus selalu dijadikan tameng. Apalagi, warga sering mendatangi rumahnya untuk urusan masalah perkebunan di luar jam kerja kantor.

Kasus yang ditampilkan Riniwaty, ada perusahaan yang didemo masyarakat sekitar perusahaan karena tidak terima ada warga yang dipukul petugas keamanan perusahaan. Saat demonstrasi berlangsung, tanpa melakuakan koordinasi, kepala keamanan memanggil wartawan untuk merekam aksi mereka. Tujuannya, jika kasusnya sampai ke polisi ada bukti rekaman video. Tapi, tindakan kepala keamanan meminta bantuan wartawan ini fatal akibatnya. Kasus ini kemudian muncul sebagai berita di media.

Akibat pemberitaan itu, kasus melebar tak terkendali. Perusahaan itu sampai harus menyewa jasa konsultan komunikasi untuk menyelesaikannya. Tentu saja, konsultan komunikasi itu memberi catatan khusus pada tindakan kepala keamanan yang tidak berkonsultasi terlebih dulu dengan manajemen. Bagaimana langkah-langkah penyelesaian yang diambil konsultan komunikasi itu bisa dibaca di halaman 270-278.

Praktik komunikasi internal di masa pandemi juga disinggung Riniwaty di buku ini. Kebiasaan tatap muka, digantikan dengan teknologi dan itu bisa berlangsung usai pandemi. Elisa Lumbantoruan bercerita mengenai pelaksanaan komunikasi internal selama pandemi di ISS. Briefing dilakukan secara kluster lewat daring. Story telling yang sebelum pandemi sudah dilakukan untuk membangun orang besar berbasis budaya Indonesia, terus dilakukan menggunakan grup-grup WA maupun surat elektronik.

Saay pernah mengikuti kegiatan webinar perusahaan konsultan komunikasi yang dipimpin Wimar Witoelar. Ia berceria selama pandemi, komunikasi menggunakan daring dilakukan setiap hari, sehari dua kali. Karyawan wajib hadir.

Pandemi mereda, pertemuan hibrida pun sekarang dilakukan di banyak lembaga. Yaitu gabungan antara daring dan tatap muka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement