REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengembangan wisata halal atau wisata ramah muslim menjadi jawaban atas masalah yang kerap ditemui para wisatawan muslim saat melakukan aktivitas wisata. Banyaknya fasilitas di destinasi wisata yang tak dapat memenuhi kebutuhan khusus seorang muslim mendorong tingginya permintaan terhadap layanan tambahan.
Konsultan Senior dari Amicale Lifestyle Internasional, Hafizuddin Ahmad, menuturkan, masih banyak persepsi yang keliru di masyarakat soal pariwisata ramah muslim.
Ia menjelaskan, konsep pariwisata ramah muslim tak lepas dari kebutuhan wisatawan muslim itu sendiri. Seorang muslim memiliki kebutuhan untuk melakukan ibadah yang bersifat harian. Sementara, kerap kali pengelola destinasi wisata tak menyediakan fasilitas ibadah yang sesuai.
"Oleh sebab itu, ketka wisatawan muslim berwisata, pelaksanaan ritual ibadan harian itu perlu difasilitasi yang kita kenal dengan pariwisata ramah muslim," ujar Hafizuddin dalam peluncuran Buku Panduan 5 Destinasi Super Prioritas Ramah Muslim di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Dirinya mencontohkan, salah satu persoalan sederhana terkait dasilitas toilet. Harus diakui, fasilitas toilet saat ini kerap kali mengikuti standar barat dengan sistem toilet kering.
"Sementara seorang muslim, dia harus dengan air, jadi untuk kebersihan (kebutuhan kelancaran ibadah), dia butuh air. Maka ini menjadi sangat penting," ujar dia.
Tak hanya soal toilet, ketersediaan tempat wudhu pun kerap kali nihil. Pengelola penginapan hanya menyediakan wastafel di kamar yang terpaksa digunakan seorang wisatawan untuk berwudhu.
"Jadi, ketika dia mau wudhu, harus angkat kaki ke wastafel, itu tidak nyaman," ujar dia.
Sama halnya dengan tempat solat. Ia menilai, fasilitas tempat solat untuk destinasi di pusat-pusat kota semakin membaik. Hanya saja, destinasi wisata yang terdapat di objek alam atau pemandangan, kondisinya memprihatinkan.
"Seperti di pantai, tempat solat dengan toilet itu berdekatan, wanginya luar biasa. Bahkan kadang kita tidak bisa bedakan antara keset dan sajadah," ujar dia.
Tidak hanya soal ibadah ritual, kewajiban seorang muslim untuk mengonsumsi makanan halal membutuhkan jaminan dari pengelola restoran.
Ia menjabarkan, Indonesia memiliki persoalan mendasar soal kesadaran untuk memiliki sertifikat halal di restoran. Itu disebabkan karena faktor budaya dan sosial karena Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Hal itu menimbulkan persepsi di publik, sertifikasi halal tidak penting karena tak mungkin warga muslim yang membuka restoran menjual makanan haram.
"Apalagi jika pemiliknya sudah berstatus haji, masa tidak halal? Sementara, wisatawan luar negeri dia tidak melihat pemiliknya, tapi apa buktinya. Yaitu sertifikat," ujar dia.
Karena itu, ia menilai, Indonesia memiliki kelebihan sebagai negara mayoritas muslim. Namun, kelebihan itu nyatanya menjadi salah satu kekurangan dari Indonesia akan kesadaran soal sertifikat halal yang dapat menjadi bukti dan daya tawar di mata wisatawan muslim mancanegara.