REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Tugas Monkeypox (Cacar Monyet) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah menyiapkan rekomendasi alur penatalaksanaan pasien cacar monyet di Indonesia mulai dari skrining atau penapisan, triase dan penilaian klinis, hingga testing. Ketua Satgas Monkeypox PB IDI dr. Hanny Nilasari, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, menyampaikan bahwa saat proses skrining, orang dengan ruam akut perlu diwaspadai jika dia memiliki lebih dari satu gejala lainnya seperti demam onsen akut, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri kepala, myalgia (nyeri otot), nyeri punggung, dan asthenia (kelemahan fisik).
"Harus dilakukan pemeriksaan klinis secara akurat bahwa tidak ada kecurigaan erupsi kulit karena yang lain misalnya karena varicella zoster, herpes simplex virus (HSV), sifilis, infeksi gonokokal diseminata, penyakit tangan-kaki-mulut, campak, scabies, chikungunya, demam dengue, dan sebagainya," kata Hanny saat media briefing yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (21/9/2022).
Adapun yang menjadi ciri ruam akut khas cacar monyet adalah adanya bercak atau ruam kemudian berubah menjadi penonjolan di atas permukaan kulit, lalu melenting, bernanah, sebelum akhirnya berkrusta.
"Lesinya utamanya adalah di wajah atau kelamin, jumlahnya bervariasi dan ini dapat melibatkan membran mukosa sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara akurat. Selain itu, lesi juga ada di konjungtiva atau kornea, serta kelainan di kelamin atau genital," ujar Hanny.
"Dan umumnya semua lesi berada dalam tahap yang sama, menyebar secara sentrifugal atau meluas ke telapak tangan dan telapak kaki," sambungnya.
Jika saat skrining ditemukan bahwa ruam akut yang diderita pasien adalah khas cacar monyet, Hanny mengatakan perlu dilakukan identifikasi keparahan. Selain itu, perlu dilihat juga apakah pasien tersebut merupakan kelompok risiko tinggi.
"Untuk populasi risiko tinggi, yang kami rekomendasikan adalah mereka yang tergolong anak-anak, wanita hamil, orang dengan kondisi imunosupresi seperti penyakit tak terkontrol dan HIV, serta orang yang memiliki kondisi kronis pada kulit," imbuh Hanny.
Adapun tanda-tanda keparahan dapat dilihat jika pasien mengalami lebih dari satu gejala mulai dari mual muntah, kurang asupan oral, dehidrasi, disfagia karena limfadenopati servikal, gangguan penglihatan, nyeri mata, pneumonia, tampak bingung, sepsis, dan hepatomegali (pembesaran organ hati).
Tingkat keparahan juga dapat dilihat jika terjadi peningkatan enzim hepar, peningkatan leukosit, penurunan trombosit, dan penurunan albumin. Selain itu, semakin banyak jumlah lesi juga menunjukkan bahwa kondisi pasien semakin parah.
"Kemudian kita akan lakukan testing dari lesi tersebut, termasuk usapan eksudat lesi, bagian atap lebih dari satu kelainan kulit. Swabnya boleh kering atau yang sudah ditaruh di media transport virus dan tekniknya adalah tes amplifikasi asam nukleat seperti RT atau PCR konvensional," kata Hanny.
Jika pasien mengalami cacar monyet ringan atau tanpa komplikasi, maka disarankan untuk mengisolasi diri di rumah dan terpisah dengan anggota rumah lainnya. Kemudian, melakukan pengobatan simtomatik, memenuhi nutrisi, perawatan kulit, dan dipantau harian oleh tenaga medis.
Namun, jika pasien mengalami cacar monyet berat atau dengan komplikasi, maka perlu isolasi di rumah sakit atau fasilitas kesehatan untuk mendapatkan perawatan yang lebih optimal dan diberikan antivirus. Pasien dapat dikatakan sembuh jika seluruh lesi kulit telah mencapai fase krusta, mengelupas, dan tumbuh lapisan baru. Jika sudah mencapai fase tersebut, pasien tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan PCR.
"Untuk kriteria selesai isolasi dinyatakan berakhir yaitu tidak demam dan tidak ada gejala respirasi, serta tidak ada lesi baru dalam 48 jam. Seluruh lesi kulit mencapai fase krusta, mengelupas, dan tumbuh lapisan baru. Umumnya berlangsung 2-4 minggu sejak muncul gejala prodromal," pungkas Hanny.