REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah merencanakan keuangan, tetapi merasa kerap gagal? Kira-kira apa saja penyebabnya jika dilihat dari kacamata keuangan?
Agustina Fitria CFP, Head of Financial Planning OneShildt, mengatakan, satu hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri. Pengelolaan keuangan sebenarnya bisa kembali lagi kepada diri sendiri.
“Ada faktor eksternal atau dari luar bahkan memang kehendak Tuhan. Banyak klien yang memang nggak mulus-mulus amat,” kata Agustina, disimal dalam Libe IG, beberapa waktu lalu.
Beberapa hal yang datang dari diri sendiri, biasanya akibat tergoda harga diskon, ajakan teman, rengekan anak, dan sebagainya. Jika dari faktor eksternal juga biasanya adalah hal yang punya dampak signifikan kepada kehidupan.
Akan tetapi, pembuatan anggaran tetaplah hal terpenting. Apabila membuat anggaran saja bisa tidak sesuai rencana, apalagi jika tidak membuat sama sekali.
Terkadang banyak orang hanya memakai perasaan (feeling) dalam mengelola keuangan. Orang berhitung dengan mengira-ngira jika dana yang dimilikinya akan cukup untuk kebutuhan, padahal tiba-tiba menyusut.
“Merasa masih cukup padahal isi rekening terus menyusut ternyata ada tagihan kartu kredit, itulah jadinya kalau pakai perasaan,” lanjut dia.
Umumnya, perilaku orang-orang yang baru bekerja, mereka cukup impulsif. Artinya, kebiasaan umum di kalangan pekerja pemula ini adalah menikmati gaji untuk mendapatkan apa pun yang diinginkan, bukan hanya kebutuhan.
Baru mendapat penghasilan, orang-orang ini berpikir go with the flow alias menjalani kesenangan tanpa memikirkan kebutuhan darurat. Sekian waktu, barulah menyadari dampak yang kurang baik.
Saat mendapatkan gaji pertama, biasanya sangat wajar orang melakukan euforia, memakai uang untuk kesenangan. Dalam satu tahun pertama, ingin mencoba banyak hal baru.
Tetapi kemudian orang akan terdorong, kebanyakan setelah menikah atau berkeluarga. Misalnya, ternyata istri tidak berpenghasilan, mau tidak mau harus dibicarakan bagaimana pengaturan keuangan bisa cukup.
Faktor lain yang bisa mendorong seseorang melakukan penganggaran adalah ketika hal signifikan terjadi kepada hidupnya. Dari yang tadinya menanggung biaya hidup sendiri, menjadi untuk banyak orang.
Ketika orang tua tiada, harus menanggung biaya adik-adiknya. Artinya ada kondisi yang memaksa seseorang mulai meningkatkan kesadaran melakukan penganggaran.
“Bikin anggaran jarang sekali terdorong oleh motivasi biasanya karena kondisi pasti ada sesuatu,” ujar Agustina.