Kamis 25 Aug 2022 20:40 WIB

Mie Gacoan Jadi Kontroversi, Ini Komentar Pakar Budaya

Saat ini Mie Gacoan sedang dalam tahap untuk mendapatkan sertifikasi halal.

Penamaan Mie Gacoan menimbulkan kontroversi. (ilustrasi)
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Penamaan Mie Gacoan menimbulkan kontroversi. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara PT Pesta Pora Abadi yang menaungi bisnis Mie Gacoan, Daryl Gumilar, menegaskan pihaknya tidak memiliki niat buruk sama sekali dalam memberikan nama produk. Daryl menjelaskan, arti kata gacoan yang melekat pada produk Mie Gacoan lebih mengarah pada makna jagoan.

Arti kata itu sebagaimana yang diuraikan pada definisi yang tertulis pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring. "Makna kata gacoan itu menjadi sangat relevan untuk disandingkan sebagai makna 'jagoan', dan bukan berarti 'taruhan'," kata Daryl.

Baca Juga

Daryl juga menambahkan hingga kini pihaknya masih terus berusaha untuk memenuhi standarisasi sertifikasi halal. "Belum mendapatkan sertifikasi halal bukan tidak mendapatkan. Saat ini Mie Gacoan sedang dalam tahap untuk mendapatkan sertifikasi tersebut," ujarnya. Daryl juga menegaskan bahan baku yang digunakan untuk meracik semua menu makanan di Mie Gacoan ini semuanya telah tersertifikasi halal.

Pakar budaya ikut memberikan tanggapannya terkait kontroversi penamaan Mie Gacoan. Kepala Bidang Pertunjukan Seni dan Budaya, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Donny Satryo Wibowo Ranoewidjojo mengatakan "gacoan" dalam bahasa Jawa berarti jagoan atau unggulan.

"Gacoan itu artinya andalan atau jagoan. Zaman saya kecil di Surabaya, saya juga pegang gacoan untuk main kelereng, engkle, dan lain lain. Intinya, bahasa daerah ya tidak bisa disamakan dengan bahasa Indonesia," kata Donny dalam siaran pers pada Kamis (25/8/2022).

Dia mengingatkan, tidak semua kata dalam bahasa daerah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia akan memiliki makna yang sama. Misalnya, kata "pamor" yang dalam bahasa Jawa berarti pola logam putih dalam pusaka tosan, aji, keris, dan tombak. Saat diserap ke dalam bahasa Indonesia, "pamor" beralih makna menjadi kewibawaan.

Donny menyebutkan, jika suatu kata serapan memiliki makna yang bertolak belakang dengan makna dalam bahasa aslinya, maka seharusnya ia dikembalikan ke makna asalnya. Yang lebih kuat adalah makna dari induk (bahasa asli) yaitu bahasa daerah, terutama jika kata tersebut masih terus dipakai di daerah asalnya.

 

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement