Ahad 21 Aug 2022 00:33 WIB

Tren Self-Diagnosis Generasi Muda, Ini Empat Cara Menghindarinya

Self-diagnosis tidak dianjurkan, bahkan dapat membahayakan diri sendiri.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Friska Yolandha
Depresi (ilustrasi). Media sosial turut berperan besar dalam gangguan mental seseorang.
Foto: www.pixabay.com
Depresi (ilustrasi). Media sosial turut berperan besar dalam gangguan mental seseorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesehatan mental adalah salah satu isu yang menjadi perhatian di kalangan generasi muda. Tak heran, sebab menurut sebuah riset yang dilakukan oleh Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, anak muda yang berusia 16-24 tahun sedang berada di periode kritis dan rentan mengalami gangguan kesehatan mental.

Berdasarkan penelitian itu, sebanyak 95,4 persen responden menyebutkan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan, dan 88 persen pernah mengalami gejala depresi. Akibatnya, diskusi mengenai kesehatan mental pun semakin umum ditemukan, terutama di kalangan generasi Z.

Baca Juga

Media sosial turut berperan besar dalam hal ini, dengan banyaknya konten mengenai kesehatan mental yang diunggah serta dapat diakses dengan mudah. Fenomena ini menyebabkan kesadaran dan pemahaman tentang kesehatan jiwa semakin meningkat. 

Di sisi lain, banyaknya konten seputar gangguan kesehatan mental yang muncul di media sosial juga menimbulkan tren self-diagnosis di kalangan anak muda. Padahal, melakukan self-diagnosis tidak dianjurkan, bahkan dapat membahayakan diri sendiri.

Bahaya yang dapat ditimbulkan misalnya mengonsumsi obat yang tidak tepat atau tidak dapat membedakan gejala yang sebenarnya disebabkan oleh penyakit fisik. Namun tentunya tidak semua generasi muda mengikuti ‘tren’ self-diagnosis ini. Berikut empat tips yang bisa dilakukan agar tetap kritis ketika menerima informasi dan menghindari akibat buruk dari self-diagnosis.

1. Melihat sumber informasi yang didapatkan dari media sosial

Berbagai jenis informasi dan konten bermanfaat kini bisa didapatkan dari media sosial, tapi tidak semua terjamin keakuratannya. Sebagai audiens, kita juga perlu memilah informasi yang kita konsumsi. Ada baiknya kita memilih konten kesehatan mental yang memang dibuat oleh ahlinya, seperti psikolog, psikiater, atau lembaga resmi yang menangani kondisi kejiwaan.

2. Tidak menjadikan selebritas, tokoh fiktif, atau penderita gangguan mental lainnya sebagai rujukan

Terkadang ketika melihat pengalaman orang lain di media sosial, kita dapat menemukan adanya kesamaan gejala atau kondisi yang dirasakan. Kesamaan ini mungkin dapat mendorong kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kita mengalami kondisi kejiwaan yang sama pula. Meskipun terdapat kemiripan, penting untuk diingat bahwa kondisi mental tiap orang tentunya kompleks dan tidak dapat disamakan. 

3. Hindari terlalu percaya pada tes kondisi mental yang tersedia secara daring

Begitu banyak tes mengenai kondisi kesehatan mental yang beredar di internet. Umumnya, tes-tes online tersebut tidak dapat menilai sebuah gejala secara spesifik dan hanya bergantung pada gambaran umum saja, sehingga kredibilitasnya tidak terjamin. 

4. Konsultasi bersama ahlinya

Jika memiliki pertanyaan atau merasakan gejala yang mengganggu, jangan ragu untuk konsultasi bersama psikolog atau psikiater. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam sebuah diagnosis, yang hanya diketahui oleh ahlinya. Sekarang ini, melakukan konsultasi kesehatan mental juga semakin mudah dilakukan. Banyak metode yang tersedia, seperti melalui video call, aplikasi mobile, dan juga pertemuan langsung. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement